Arfan : Film Adalah Jendela Dunia

Janji temu siang itu urung terjadi, Andi Arfan Sabran, masih di Palu, Sulawesi Tengah. Pertemuan akhirnya bisa kami lakukan sekitar pukul 19.00. Ia meminta maaf, jam pertemuan ia undur terus. Ketika tiba di Makassar pukul 16.00, sebenarnya ia sudah siap bertemu. Namun gagal lagi. “Maaf tadinya mau baring-baring saja, eh ketiduran,” tulisnya dalam pesan singkat.

Kesibukan memenuhi jadwalnya. Selain disibukkan dengan aktivitas produksi dan menyutradai film-film bergenre dokumenter, ia juga aktif mengorganisir pemutaran film-film berkualitas yang sulit didapat di jaringan bioskop nasional. Pekan ini, bekerjasama dengan Jakarta International Film Festival (JifFest) dan Indonesia Documentary (In-Docs), komunitas film Rumah Ide yang didirikannya menggelar JifFest Travelling Makassar 2010. Penikmat film dapat menyaksikan sekitar 25 film bertaraf festival dan dokumenter produksi anak-anak muda Makassar sejak tanggal 11-13 Juni.
Ia memang pencinta film. Tak hanya menikmati, ia pun ingin ada bentuk kesadaran bagi masyarakat Makassar untuk menikmati tontonan film berkualitas. Maka, ia mengedukasi, meliterasi, melatih, memperkenalkan apa dan bagaimana film yang baik dan bagaimana membuat film yang bisa menyentuh langsung masyarakat. Mengapa ia memilih film sebagai media penyampai pesan? Sebab menurutnya media film lebih mudah dicerna segala lapisan masyarakat. Tampilannya yang memadukan antara audio dan visual, membuat masyarakat lebih dapat menangkap pesan yang berada di balik pembuatan film tersebut.

“Film adalah jendela-jendela dunia. Dari film kita bisa dapat sudut pandang-sudut pandang berbeda tentang berbagai persoalan,” tuturnya.

Kepiawaiannya membuat film-film dokumenter, membawanya memenangkan penghargaan Eagle Award II yang digelar MetroTV tahun 2006. Tapi bukan berarti ia tak mengalami kegagalan. Eagle Award I tahun 2005 sempat memupuskan harapan sebab tak lolos seleksi. Ketika itu, ia memilih cerita tentang kelainan genetik dalam masyarakat To Balo. Namun ia tak putus asa. Kegemarannya membuat film serta menulis dan latar belakang pendidikannya yang lazim melakukan berbagai penelitian, lelaki berlatar pendidikan Biologi Fakultas Mipa Universitas Hasanuddin ini tetap fokus memproduksi film bertema kesehatan.

Berkat itu pula, penelitian yang sempat dilakukannya tentang lepra di kepulauan Pukang Tangngayya Pangkep membawanya mengenal Suster Terapung. Lokasi perairan Pangkep yang berbatasan dengan laut Flores mempertemukannya dengan Rabiah sang Suster Terapung. Maka, saat MetroTV kembali menggelar Eagle Award II, semangat Arfan kembali muncul. Ia lalu membuat proposal. Pucuk dicinta ulam tiba, ia lolos dari sekitar 500 proposal yang masuk. Seleksi diperketat, namun ia tetap masuk 10 besar. Itu kemudian berlanjut dengan berhasilnya ia menduduki peringkat lima besar. Maka mulailah ia memproduksi film tentang suster Rabiah. Semangat dan tak putus asanya diganjar dengan kesuksesannya memenangkan tiga penghargaan dari lima kategori penghargaan yang diperebutkan. Yakni sebagai film terbaik, sinematografi terbaik dan Favorit Pemirsa.

Anak ketiga dari lima bersaudara ini merasa beruntung lantaran didukung keluarga yang demokratis. Anak pasangan M Rafiuddin Nur dan Andi Pada ini tak mendapat tentangan dari keluarga, meski kini ia terjun di dunia yang jauh berbeda dengan latar belakang pendidikannya. Bahkan, kini ia meraih master biomedik Pascarjana Universitas Hasanuddin, namun tak membawanya lantas menggeluti dunia biologi atau kesehatan. Toh, ia meyakini latar belakang bidang studinya sedikit banyak mempengaruhi riset dan kerja-kerja perfilm-an yang kini ditekuninya. “Orangtua mendukung dan tak mempersoalkan apa yang kukerjakan saat ini. Saya beruntung. keluargaku adalah keluarga yang demokratis,” ucapnya.

Maka, semasa kuliah bersama kakaknya ia kemudian mendirikan Rumah Ide. Awalnya, komunitas ini dimaksudkan untuk fokus pada penerbitan yang menghasilkan literatur dan terbitan lokal.Namun akhirnya vakum, lantaran mereka tak terlalu memahami seluk beluk penerbitan. Maka, setelah memenangkan Eagle Award, ia kemudian mengubah Rumah Ide menjadi komunitas film yang fokus menfasilitatori, mengedukasi, meliterasi masyarakat pencinta film. Hal ini kemudian melahirkan Forum Film (Forfilm) Makassar. Rumah Ide dan ForFilm lalu berbagi tugas dalam menggenapi proses edukasi dan literasi film masyarakat Makassar.
Program-program yang digawangi Rumah Ide bermunculan. Diantaranya mereka akhirnya berhasil menggelar workshop film dokumenter pada 2007 bekerjasama dengan In-Docs. Rumah Ide juga memprogram pembuatan film yang memberi penguatan perdamaian (peace building) di kalangan masyarakat Sulawesi Tengah. Setiap bulannya, mereka menggelar program reguler berupa Cinematica yang fokus memutar film-film dan mendiskusikannya. Film dipilih dari dua genre yakni dokumenter dan fiksi. Ada pula rencana kerjasama Goethe Institute dan In-Docs memutar film tentang bola dalam menyambut piala dunia.
“Kami ingin memutar film tentang bola bulan ini. Kehadiran piala dunia membuat setiap orang antuasias menyaksikan pertandingan bola. Maka dengan film ini, kita ingin menampilkan perspektif berbeda, yang lain tentang bola. Bahwa di dalam penyelenggaraan bola ada dominasi komunitas lelaki dan ideologi yang mempengaruhi hampir di setiap penyelenggaraan bola,” ungkapnya.

Ia mengaku tak mudah menggelar berbagai program semacam Jiffest ataupun pemutaran film-film Eropa. Ia harus berkorban waktu bahkan uang. Pasalnya, ia harus bolak-balik ke Jakarta, Bandung atau Jogjakarta untuk meyakinkan para kurator film dan lembaga-lembaga film bahwa film yang mereka miliki diminati peminat film di Makassar. Pada akhirnya, ia mampu meyakinkan lembaga film Jiffest, In-Docs, Europa Screen, ataupun Kinokine (?). “Beruntung saya pernah memenangkan Eagle Award sehingga memudahkan masuk dalam lingkaran mereka yang pada akhirnya mendapatkan jaringan. Tapi mendapatkan dan memelihara jaringan bukan perkara mudah,” tukasnya.
Satu jam berbincang, ternyata tak terasa. Sepanjang perbincangan, short massage system (sms) di mobile phonenya terus berbunyi. Ia mengamati jam di pergelangan tangannya. Ia harus bergegas pada janji temu yang lain. Kami pun mengakhiri perbincangan. (Nurliah)

Biofile
Nama Lengkap : Andi Arfan Sabran
Tempat, Tanggal Lahir : Makassar, 12 Oktober 1981
Orang tua :
- Ayah : M Rafiuddin Nur
- Ibu : A Pada
Pendidikan : Biologi Fakultas MIPA Universitas Hasanuddin dan Biomedik Pascasarjana Universitas Hasanuddin
Penghargaan :
- Best Film, Best Sinematografi, Favorit Pemirsa dalam Eagle Awards 2006 MetroTV
- Best Script di Swedish Digital Film Making Workshop 2007
- Gotheborg International Film Festival 2008, Swedia

Komentar