Deputi Meneg LH : Pemerintah Harus Rajin-Rajin Berikan Sanksi Administratif

Deputi Menteri Negara Lingkungan Hidup Bidang Penataan Lingkungan, Ilyas Asaad, turun langsung menyosialisasikan Undang-Undang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UU PPLH), di Hotel Clarion Makassar (23/6). Deputi Meneg LH dalam Sosialisasi yang digelar Badan Lingkungan Hidup Daerah (BLHD) Sulsel ini, memberi penekanan terkait isu hangat yang menyertai disahkannya pengganti undang-undang PPLH sebelumnya, UU No 23 tahun 1997.

Dihadapan sejumlah pejabat dan staf instansi di lingkungan Pemprov Sulsel, akademisi, pengusaha, dan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), Ilyas mengungkapkan bahwa setelah ditetapkan 23 Oktober 2009, banyak pro kontra hadir menghiasi sepanjang pengesahaannya. Beberapa kalangan, jelas Ilyas, mengungkapkan kekhawatirannya disebabkan adanya sanksi pidana apabila melebihi baku mutu lingkungan. Pasalnya, pada saat tertentu emisi tidak selalu sesuai dengan baku mutu. Sementara, pada saat yang sama Permen No 13 2009 tentang baku mutu emisi, mewajibkan pula setiap pelaku usaha di bidang minyak dan gas bumi. Permen ini berlaku setahun setelah ditetapkan pada April 2010.

“Pelaku usaha mengaku banyak yang belum siap memenuhi mutu effluent khususnya air terproduksi sampai 40C. Menyusul pula adanya Permen No 4 tahun 2007 yang menetapkan baku mutu air limbah adalah 40C,” ungkapnya.

Hal lain yang juga menjadi kekhawatiran adalah tentang izin lingkungan yang termuat dalam pasal 40 UU 32/2009. Salah satu pasal menyebutkan pembatalan izin usaha apabila tak memenuhi ketentuan adanya izin usaha lingkungan tersebut. Ia mengatakan tak perlu dipersoalkan sebab semua telah melalui pertimbangan yang matang, yang tentunya tidak untuk mengurangi peran ekonomi mereka. Ketar-ketir datang pula dari beberapa kalangan yang menganggap pelimpahan wewenang kepada pemerintah daerah mengenai penetapan jenis usaha yang wajib dilengkapi UKL/UPL akan dapat lebih menghambat upaya penegakan pemeliharaan lingkungan di daerah. Isu terakhir yang juga hangat dibicarakan adalah dana jaminan pemulihan.

Poin penting yang turut menjadi perhatian Ilyas adalah pertanyaan sejumlah kalangan tentang peraturan pelaksanaan semacam peraturan pemerintah, peraturan menteri, hingga peraturan daerah. Pasalnya hingga disahkan tak satupun aturan teknis tersebut dirampungkan. Tentang hal itu, Ilyas menjanjikan peraturan pemerintah akan dijadwalkan selesai Oktober 2010. Namun, selama peraturan pelaksanaan belum disahkan, Ilyas menegaskan, semua peraturan perundang-undangan yang merupakan peraturan pelaksanaan UU No 23/97 tetap berlaku, kendati UU lama PPLH tersebut telah dicabut dan tidak berlaku lagi.

“Tapi saya melihat peraturan pelaksanaan yang ada selama ini, hampir 47 persen isinya bukan tentang pelestarian lingkungan hidup. Tetapi lebih banyak retribusi,” tuturnya sembari tertawa.

Terkait soal pencemaran, dalam UU 32/09 ini, dinyatakan dalam sejumlah pasal. Mulai dari pasal 13, 14, 20, 82, dan pasal 69. Sanksinya terungkap dalam pasal 20, 69, 76, 77, 78, 79, 98, dan 99. Secara khusus, jelas Ilyas, ketentuan pidana terungkap dalam pasal 97, 98, 99 hingga pasal 120. Ia mengakui, pasal yang terkait sanksi pencemaran dalam UU baru ini cukup banyak. Tak hanya menjerat para pelaku pencemaran, juga melingkupi para pemberi izin dalam hal ini pemerintah. Sanksi pidana kurungan penjara mulai dari tiga tahun hingga 15 tahun subsider antara Rp 3 juta sampai miliaran rupiah. Kementrian Lingkungan Hidup memiliki wewenang yang cukup besar salah satunya adalah berhak mencekal pelaku usaha yang disinyalir melakukan pencemaran lingkungan.

“Apabila sanksi administrasi tidak dipatuhi, dan pelanggaran sudah dilakukan lebih dari sekali maka kita bisa langsung batalkan izin usahanya. Seharusnya memang ada peringatan terlebih dahulu sesuai prosedur. Maka itu, saya meminta kepada pemerintah untuk rajin-rajin memberi sanksi administratif. Tapi karena semakin tingginya penegakan hukum dalam UU PPLH terbaru ini, saya berharap tidak dijadikan ajang premanisme. Yakni menakut-nakuti pengusaha,” katanya.

Menanggapi UU 32/2009 ini, Kurniawan dari NGO Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Sulsel mengatakan semakin banyak undang-undang lingkungan hidup semakin bagus. Apalagi nuansanya semakin memberi nafas memenjarakan bagi pelanggar pencemaran lingkungan. Ia berharap undang-undang ini dapat menjadi UU mainstream yang dapat mewadahi seluruh UU yang kontradiktif. Kelemahan selama ini karena perangkat UU juga tak mengatur tentang sinergitas antarlembaga pemerintah sehingga aturan yang ada saling tumpang tindih dan menimbulkan kontradiksi. Hal lainnya juga menurut Kurniawan karena data-data yang terbaru mengenai hutan yang telah rusak sering tidak diperbaharui.

“Nafas memenjarakan orang semakin kental dalam UU ini. Ini penting karena ancaman pemenjaraan saja mereka tidak sadar apalagi kalau tidak ada ancaman pemenjaraan,” tuturnya.

Sementara itu, dari kalangan pengusaha yang diwakili General Administrative and Personnel Manager PT Sermani Steel, Hedi R Sukarsa, mengatakan pihaknya tak mempermasalahkan pasal 40 UU No 32/2009 yang mengatakan setiap perusahaan harus memiliki izin lingkungan. Soalnya, sebelum adanya UU baru inipun izin lingkungan sudah ada. Itu untuk mengatur Amdal atau UKL/UPL perusahaan bersangkutan. Memang beberapa pelaku usaha menganggap berat dari sisi biaya, khususnya bila melakukan uji kualitas udara, air dan sebagainya. Namun menurutnya, seharusnya bila terkait lingkungan perusahaan harus menyisihkan biaya untuk uji tertentu.

“Perusahaan yang bilang berat, itu hanya mengada-ada saja. Perusahaan yang mengeluhkan hal itu berarti memang tak menganggap penting pemeliharaan lingkungan. Ya, seharusnya setiap perusahaan harus menyisihkan anggarannya khusus untuk pemeliharaan lingkungan. Kami sendiri telah bekerjasama dengan Tonasa untuk pembuangan limbah. Tonasa khusus menghancurkan limbahnya. Bisa dilihat di lingkungan perusahaan kami ada taman berisi rusa dan burung-burung, kami juga memiliki kolam ikan. Ini mengindikasikan limbah cair, udara, dan tanah tak tercemar. Karena kalau tercemar hewan peliharaan kami tentu telah mati semua,” ungkapnya.

Wakil Gubernur Sulsel, Agus Arifin Nu’mang yang membuka secara resmi sosialisasi tersebut mengungkapkan dalam kata sambutannya mengenai pentingnya disahkannya UU PPLH. Karena dengan begitu, ungkap Agus, pengaturan manajemen lebih jelas, lebih komprehensif, terencana, ada kajian lingkungan dan lebih utama adanya penegakan hukum efektif bagi pelaku pencemaran. Hukuman yang tercantum tak hanya hukum administratif tetapi juga hukuman pidana. “Ini akan memberi efek jera terhadap pelaku,” tegasnya.
…………….selesai……………………….

Komentar