Diskusi Akar Demokrasi

Dinamika peristiwa yang berujung aksi kekerasan yang terjadi akhir-akhir ini dinilai sejumlah pihak sebagai suatu kebanggaan karena merupakan ungkapan kebebasan pasca reformasi. Namun, di pihak lain ada pula yang menilai sebagai peristiwa memalukan yang perlu disesalkan dan memprihatinkan, karena dikategorikan sebagai perbuatan yang kurang beradab. Aksi-aksi brutal Front Pembela Islam (FPI) atau kelakuan brutal suporter sepakbola di Indonesia, bahkan mahasiswa sebagai kelas intelektual tidak luput sebagai aktor yang sering melakukan kekerasan. Bentrokan atau tawuran yang melibatkan mahasiswa seolah menjadi hal yang biasa dan bisa ditolerir. Pada akhirnya Makassar dicap sebagai kota yang terkenal dengan aksi mahasiswa yang berakhir rusuh.

Kekerasan dan konflik yang rentan terjadi di Makassar dan sejumlah daerah tersebut menjadi topik hangat dalam rangkaian acara pameran dan diskusi panel “Bicara tentang Akar Demokrasi Indonesia” dengan sub topik Anarkisme atau Vandalisme, di Gedung PKP Unhas, Selasa (31/8). Acara yang digelar Friedrich- Ebert- Stiftung (FES) Indonesia bekerjasama dengan Jurusan Sejarah UNHAS, Jurusan Ilmu Administrasi UNHAS, Tempo Institute dan Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Makassar, menghadirkan empat pembicara yakni Franz Magnis Suseno dari Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara, Nezar Patria-Direktur AJI Indonesia, Drs Alwy Rahman dari UNHAS dan Prof Dr Rasyid Asba dari Jurusan Sejarah UNHAS.


Namun istilah anarkisme yang kerap ditujukan pada aksi kekerasan menurut Romo Frans adalah istilah yang tak sepenuhnya benar. Kata anarkisme memang terlanjur lekat dengan semua aksi-aksi brutal. Mulai dari presiden, pembawa berita di televisi, sampai penjual gado-gado berada dalam satu pemahaman kata. Sedikitnya literatur anarkisme — dalam bahasa Indonesia khususnya — menyebabkan banyaknya kesalahan dalam mengartikan kata tersebut. Buku ini adalah satu dari sedikit literatur berbahasa Indonesia mengenai anarkisme. Media juga tidak luput dari sebagai pihak yang membuat deviasi makna antara Anarkisme dan Vandalisme menjadi menghilang. Bahkan kata vandalisme, barbarisme, brutal dan anarkisme, digeneralisir sebagai tindakan masyarakat yang kurang beradab dan wajib dihindari.

“Anaarkisme adalah gerakan ideologis. Tujuannya adalah penciptaan masyarakat tanpa kekuasaan, paksaan, hukum/norma-norma di mana manusia berdasarkan kebaikan alaminya akan hidup dengan damai. Mereka melakukan perjuangan dengan cara tidak mau taat terhadap pihak yang berwenang. Tetapi juga dengan melawan dan memerangi tatanan politik yang ada. Sebagian anarkis melakukan pembunuhan individual terhadap penguasa atau tokoh sebagai sarana untuk mencapai tujuan. Di Indonesia tak saya ketahui kecendrungannya. Tetapi vandalisme di Indonesia malah sangat terlihat jelas. Sesuai dengan defenisi dan karakternya yang memperlihatkan adanya kecendrungan kelakuan secara individual atau kolektif yang merusak dan asal merusak, sering berdasarkan kemarahan dan frustrasi yang mencari ekspresi,” jelas Frans.

Sementara Nezar Patria mengungkapkan kekerasan yang direproduksi media dicurigai sebagai alat yang menularkan atau memprovokasi sehingga cenderung menyebar. Ia mengakui kekuatan audio visual memiliki dampak luar biasa dibandingkan media lainnya, namun untuk mengklaim televisi memiliki dampak psikologi merujuk sejumlah teori yakni bullet teory yakni menganggap pesan media berdampak pada orang secara langsung, bisa dihukum dan besifat segera. Ada pula teori Banalitas, atau pudarnya kepekaan. Teori ini mengatakan orang sudah terlalu banyak
terekspose oleh kekerasan di media, maka kekerasan tak lagi memberi dampak emosional
pada dirinya. Yang ketiga adalah Teori kultivasi atau pembudidayaan lebih berfokus pada bagaimana sikap orang dipengaruhi oleh media, ketimbang sekadar perilaku orang tersebut.

“ Namun saya lebih cenderung pada defenisi Haryatmoko dalam Etika Komunikasi Politik yang mengatakan media menyimpan banyak lapisan realitas, berupa dunia riil, dunia fiksi, dan dunia virtual. Maka, kekerasan sebagai realitas yang diproyeksikan oleh media, dapat juga dilihat sebagai kekerasan riil, fiktif, kekerasan simulasi yang ada dalam dunia virtual,” ungkapnya.

Sedangkan Alwy Rahman lebih menfokuskan tentang wacana mengenai demokrasi yang menurutnya saat ini adalah dunia yang tunggang langgang yang tercengkeram dan terjerumus ke dalam berbagai bentuk kekerasan di tingkat global dan lokal. “Ini sebenarnya kritik Giddens terhadap kapitalisme pasca runtuhnya sosialisme di mana dunia modern ibarat truk raksasa yang membawa banyak muatan dan melaju kencang tetapi berputar-putar di situ saja tanpa tujuan. Hal ini berakibat memicu dan memproduksi kekerasan di sana-sini,” tuturnya.

Direktur FES Indonesia, Erwin Schweisshelm dalam sambutannya mengatakan bahwa dirinya sempat ragu untuk memilih Makassar sebagai tempat diselenggarakannya seri ketiga, hal ini dikarenakan maraknya berita tawuran antar mahasiswa yang ditayangkan di televisi. Namun keraguan itu sirna setelah membaca beberapa referensi tentang suku Bugis-Makassar.

Komentar