Selama kurun waktu dua tahun terakhir kasus kekerasan terhadap jurnalis terus meningkat. Kondisi ini mengancam kebebasan pers dan berekspresi, padahal sebagai salah satu pilar demokrasi jurnalis yang merupakan representasi pers membawa amanat kedaulatan rakyat. Implementasinya terwujud dalam laporan-laporan yang ditulis jurnalis dalam rangka mengejar kebebasan informasi. Jurnalis memberitakan laporan tentang kinerja pejabat publik guna mendukukung akuntabilitas dan transparansi dalam mewujudkan prinsip demokrasi.
Demikian benang merah yang terungkap dalam seminar Menjamin Kebebasan Pers dan Berekspresi dalam Rangka Penguatan Demokrasi yang digelar Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Makassar bekerjasama dengan Yayasan TIFA di hotel Clarion (28/8). Hadir sebagai pembicara Anggota Dewan Pers Bekti Nugroho, Direktur LBH Pers Hendrayana, Asisten II Pemprov Sulsel Amal Natsir, dan Anggota AJI Makassar Upi Asmaradhan.
Menurut Bekti perlunya pers bebas di Indonesia sebab sebagai negara kesatuan republic Indonesia (NKRI), Indonesia telah memilih sebagai negara demokrasi yang dibuktikan melalui pemilu untuk memilih pemimpin. Namun yang menjadi problem, tidak semua pejabat negara paham nilai-nilai demokrasi sehingga tidak terbangun tradisi demokrasi. Maka, dapat disaksikan saat ini, ungkap Bekti, wartawan dipukuli, diintimidasi oleh oknum pejabat negara atau public hanya karena bersikap kritis dalam pemberitaannya terhadap kebijakan yang dikeluarkan pejabat public atau negara.
“Sekarang ini kita dalam masa transisi yang rawan. Sementara banyak oknum wartawan atau aparat keamanan yang tidak amanah. Agak sulit menciptakan keamanan dimana kita tahu saat ini bagaimana polisi ada yang melakukan pembohongan public, wartawan ada yang meminta-minta uang kepada pejabat, pejabat yang korupsi. Akhirnya masyarakat tak tahu mana yang benar sehingga terjadi anomaly sosial. Yang pada akhirnya terjadi kekacauan, kemarahan. Maka penting menumbuhkan nilai-nilai bersama, ini penting karena nilai-nilai bersama dan akuntabilitas menciptakan aparat yang bebas KKN. Inilah inti dari UU kebebasan pers tapi ini belum terjadi,” jelas Bekti.
Asisten II Pemprov Sulsel, Amal Natsir, mengatakan jika membahas tentang kebebasan pers harus melihat dari dua perspektif. Pertama adalah dari sisi institusi dan kasuistis. Menurutnya jika bertolak dari institusi maka setiap institiusi pemerintah di Indonesia harus menghargai kebebasan pers. Hal itu sudah diperoleh dengan dirilisnya UU pers No 40 dan UU ITE. UU Ini menurut Amal dalam kondisi untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat dalam mendapatkan informasi. Jikapun ada yang lebih kasuistis kata Amal hal itu dilakukan oleh oknum.
“Tidak ada pemerintah yang mau menjerumuskan masyarakatnya. Jadi kami di pemda sudah membangun nilai-nilai yakni pertama transparansi, dua adalah akuntabilitas, ketiga adalah teamwork, keempat inovasi menuju peningkatan kesejahteraan, dan ke lima cepat dan cermat. Dimana letak pembinaan pers? Pembinaan pers terletak di teamwork untuk menjamin akuntabilitas,” jelasnya.
Sementara itu, Hendrayana menjelaskan tentang perlunya jurnalis maupun pers dibekali perlindungan hukum dan strategi agar terhindar dari ancaman kebebasan berekspresi dan memperoleh informasi. Hal penting dalam menghindari pembungkaman kebebasan pers adalah pihak LBH Pers penting untuk mencermati instrument hukum. Saat ini jika terjadi sengketa pers, pihak aparat hukum selalu menggunakan KUHP dan menghindari menggunakan UU Pers. Maka dari LBH Pers kerap melakukan sosialiasi kepada kepolisan dan kejaksaan agar jika terjadi sengketa pers mengutamakan memakai UU Pers. Hal yang lainnya, diusakan pula agar jika terjadi delik pers harus senantiasa menyediakan ruang bagi ahli dari pihak dewan pers.
“Selain itu, jika terjadi kasus semacam kriminalisasi pers, kami dari pihak LBH pers akan melakukan pembelaan hukum, pendampingan dan pembelaan di pengadilan.,” tegasnya.
Koordinator Divisi Hukum dan Advokasi AJI Makassar, Abdul Haris Suhud, mengatakan bahwa kegiatan ini digelar mengingat semakin tingginya tingkat kekerasan terhadap wartawan. Dalam dua tahun terakhir, kasus kekerasan terus meningkat di sejumlah daerah di Sulawesi Selatan. Termasuk di beberapa daerah seperti Makassar, Bulukumba, Palopo dan Pare-Pare.
“Empat daerah ini ditetapkan sebagai daerah zona merah bagi jurnalis mengingat tingginya tingkat kekerasan bagi jurnalis. Penetapan Zona merah ini agar wartawan yang meliput di daerah tersebut harus waspada. Karena itu dalam waktu dekat ini kami melakukan kampanye dan pelatihan di empat daerah ini,” tandas Haris
Demikian benang merah yang terungkap dalam seminar Menjamin Kebebasan Pers dan Berekspresi dalam Rangka Penguatan Demokrasi yang digelar Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Makassar bekerjasama dengan Yayasan TIFA di hotel Clarion (28/8). Hadir sebagai pembicara Anggota Dewan Pers Bekti Nugroho, Direktur LBH Pers Hendrayana, Asisten II Pemprov Sulsel Amal Natsir, dan Anggota AJI Makassar Upi Asmaradhan.
Menurut Bekti perlunya pers bebas di Indonesia sebab sebagai negara kesatuan republic Indonesia (NKRI), Indonesia telah memilih sebagai negara demokrasi yang dibuktikan melalui pemilu untuk memilih pemimpin. Namun yang menjadi problem, tidak semua pejabat negara paham nilai-nilai demokrasi sehingga tidak terbangun tradisi demokrasi. Maka, dapat disaksikan saat ini, ungkap Bekti, wartawan dipukuli, diintimidasi oleh oknum pejabat negara atau public hanya karena bersikap kritis dalam pemberitaannya terhadap kebijakan yang dikeluarkan pejabat public atau negara.
“Sekarang ini kita dalam masa transisi yang rawan. Sementara banyak oknum wartawan atau aparat keamanan yang tidak amanah. Agak sulit menciptakan keamanan dimana kita tahu saat ini bagaimana polisi ada yang melakukan pembohongan public, wartawan ada yang meminta-minta uang kepada pejabat, pejabat yang korupsi. Akhirnya masyarakat tak tahu mana yang benar sehingga terjadi anomaly sosial. Yang pada akhirnya terjadi kekacauan, kemarahan. Maka penting menumbuhkan nilai-nilai bersama, ini penting karena nilai-nilai bersama dan akuntabilitas menciptakan aparat yang bebas KKN. Inilah inti dari UU kebebasan pers tapi ini belum terjadi,” jelas Bekti.
Asisten II Pemprov Sulsel, Amal Natsir, mengatakan jika membahas tentang kebebasan pers harus melihat dari dua perspektif. Pertama adalah dari sisi institusi dan kasuistis. Menurutnya jika bertolak dari institusi maka setiap institiusi pemerintah di Indonesia harus menghargai kebebasan pers. Hal itu sudah diperoleh dengan dirilisnya UU pers No 40 dan UU ITE. UU Ini menurut Amal dalam kondisi untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat dalam mendapatkan informasi. Jikapun ada yang lebih kasuistis kata Amal hal itu dilakukan oleh oknum.
“Tidak ada pemerintah yang mau menjerumuskan masyarakatnya. Jadi kami di pemda sudah membangun nilai-nilai yakni pertama transparansi, dua adalah akuntabilitas, ketiga adalah teamwork, keempat inovasi menuju peningkatan kesejahteraan, dan ke lima cepat dan cermat. Dimana letak pembinaan pers? Pembinaan pers terletak di teamwork untuk menjamin akuntabilitas,” jelasnya.
Sementara itu, Hendrayana menjelaskan tentang perlunya jurnalis maupun pers dibekali perlindungan hukum dan strategi agar terhindar dari ancaman kebebasan berekspresi dan memperoleh informasi. Hal penting dalam menghindari pembungkaman kebebasan pers adalah pihak LBH Pers penting untuk mencermati instrument hukum. Saat ini jika terjadi sengketa pers, pihak aparat hukum selalu menggunakan KUHP dan menghindari menggunakan UU Pers. Maka dari LBH Pers kerap melakukan sosialiasi kepada kepolisan dan kejaksaan agar jika terjadi sengketa pers mengutamakan memakai UU Pers. Hal yang lainnya, diusakan pula agar jika terjadi delik pers harus senantiasa menyediakan ruang bagi ahli dari pihak dewan pers.
“Selain itu, jika terjadi kasus semacam kriminalisasi pers, kami dari pihak LBH pers akan melakukan pembelaan hukum, pendampingan dan pembelaan di pengadilan.,” tegasnya.
Koordinator Divisi Hukum dan Advokasi AJI Makassar, Abdul Haris Suhud, mengatakan bahwa kegiatan ini digelar mengingat semakin tingginya tingkat kekerasan terhadap wartawan. Dalam dua tahun terakhir, kasus kekerasan terus meningkat di sejumlah daerah di Sulawesi Selatan. Termasuk di beberapa daerah seperti Makassar, Bulukumba, Palopo dan Pare-Pare.
“Empat daerah ini ditetapkan sebagai daerah zona merah bagi jurnalis mengingat tingginya tingkat kekerasan bagi jurnalis. Penetapan Zona merah ini agar wartawan yang meliput di daerah tersebut harus waspada. Karena itu dalam waktu dekat ini kami melakukan kampanye dan pelatihan di empat daerah ini,” tandas Haris
Komentar
Posting Komentar