Ia berjibaku seorang diri membesarkan Lembaga Pemberdayaan Masyarakat (LPM) Penajam Paser Utara (PPU). Kucuran dana dari pemerintah kabupaten PPU sebesar Rp 5 juta ditolaknya. Perlahan-lahan secara swadaya, LPM mulai bangkit. Kendati masih terseok-seok.
"Kami bisa berkembang tanpa uang pemerintah. Apalagi dana sekecil itu diperuntukkan kepada LPM kabupaten. Kucuran di LPM kecamatan dan desa malah tidak dianggarkan, kosong. Padahal kita tahu peran LPM sangat strategis. Masyarakat bisa berkreasi, membangun desa, menggelar pelatihan keterampilan dan sebagainya dimulai di LPM-LPM. Tetapi yang terjadi, alokasi dana yang besar malah diberikan kepada KNPI yang dapat sekitar Rp 0,6 miliar, begitupun pengajian Golkar yang dapat sampai Rp 200 juta," tuturnya berang.
2007 Mutalib didaulat sebagai Ketua LPM kabuapten PPU. Kepala Bagian Hukum Setda PPU ini terkaget-kaget. Sebanyak 52 LPM termasuk 47 LPM Desa, 4 LPM kecamatan dan 1 LPM Kabupaten, selama satu tahun hanya mendapat dana alokasi sebesar Rp 5 juta. Keheranan Mutalib memuncak, pasalnya dia tahu kalau melalui surat edaran Mendagri, diminta memberi porsi alokasi anggaran dalam APBD kepada LPM. Melihat kondisi ini, Mutalib mencoba berjuang. Ia meminta penambahan anggaran Rp 2,5 juta. Tak digubris, ia memutuskan tak memakai dana pemkab. Mengambil uang pemkab dianggap sama saja seperti sebuah penghinaan.
"Dengan uang sebesar itu bagaimana merealisasikan program kerja. Kita lalu berembuk mencari jalan keluar. Akhirnya, dengan tertatih-tatih melalui swadaya, program kita lancarkan. Anggaran kita kumpulkan dari usaha ekonomi rakyat yang kami sebut asosiasi LPM. Kita mulai dengan memberi pelatihan-pelatihan kewirausahaan. Pada akhirnya, berhasil dan membiayai kegiatan dari dana hasil wira usaha," ungkapnya.
Perjuangan membangun LPM dipenuhi benturan politik. LPM yang seharusnya mampu menyerap aspirasi masyarakat, dianggap sebagai lawan politik. Kebijakan-kebijakan yang seharusnya terarah kepada LPM, mental ditelan situasi politik PPU.
"LPM hanya dianggap satu dari sekian lembaga-lembaga sosial lainnya. Bukan tempat untuk menampung aspirasi masyarakat dan merealisasikannya melalui program kerja. Keyakinan saya, paradigma ini harus diubah," katanya.
Dituturkan Mutalib, selama ini pemkab tidak pernah melibatkan masyarakat dalam setiap kegiatannya. Proyek-proyek yang digelontorkan pemkab di desa-desa tak menghiraukan masyarakat. Maysrakat tahu proyek ada, tetapi tak tahu seperti apa proyek tersebut dan apa keuntungan proyek itu terhadap mereka. Padahal, kata Mutalib, seyogyanya koordinator pengawas proyek merupakan anggota LPM. LPM diabaikan. Kendati, Mutalib dan LPM berusaha menyuarakan keterlibatan itu, pemkab tetap bergeming.
Pada akhirnya, ia melihat LPM jalan sendiri-sendiri. Mutalib berusaha mempersatukan ke 52 LPM hanya melalui program terpadu. Diantaranya kegiatan keagamaan dan pelatihan. Menurut Mutalib proses untuk meraih kebebesan berkreasi masyarakat tak lebih sebagai proses pembodohan. Kalaupun ada tahapan pengusulan rencana yang disampaikan, pada akhirnya putus pada tahapan menuju ke atas. Komitmen pemerintah jadi tidak jelas. Padahal Mutalib meyakini untuk membesarkan LPM seharusnya perencanaan bentuk kegiatan berasal dari warga dan dilaksanakan oleh warga.
"Prosesnya proses pembodohan saja. Komitmen pemerintah tidak jelas. Padahal saya kira dimana-mana orang butuh komitmen, orang pacaran saja butuh komitmen. Kalau tidak berkomitmen pasti sakit hati. Begitu juga masyarakat, pemerintah tidak komitmen sakit hati. Lima tahun sudah masyarakat di sini sakit hati," ujarnya.
Ia menjelaskan, paling sedikit 50 persen konsep-konsep pemberdayaan seharusnya terlaksana. Saat ini Mutalib melihat konsep pemberdayaan yang diusulkan masyarakat terealisasi hanya 0 persen. Artinya, kata Mutalib, kegiatan-kegiatan yang berjalan adalah kegiatan yang tidak disukai masyarakat. Kegiatan itu sering tiba-tiba muncul, sesuai keinginan kebijakan politik.
"Minimal menurut saya ke depan apa yang diusulkan masyarakat paling tidak 50 persen berjalan. Jangan seperti sekrang yang 0 persen terlaksana. Yang jalan justru yang tidak disukai masyarakat. Kegiatan tiba-tiba muncul kegiatan tetapi hanya sesuai kebijakan politik," kata dia.
Lima tahun tak punya peranan apa-apa, melalui tangan Mutalib LPM mulai bangkit. Meski ia akui jalan masih terseok-seok. Apalagi tanpa ditunjang dana yang mumpuni. Kendati begitu, ia ingin buktikan langkah yang dilakukan tanpa dana secuil pun dari pemerintah bisa terlaksana dan berjalan."Kita coba bangkitkan sedikit-sedikit, terseoklah. Yang namanya perjalanan tanpa dana susah berjalan sebagaimana mestinya. Tapi kita tetap ingin buktikan sekalipun tanpa ambil dana, kita bisa jalan," katanya.
Mutalib mengatakan untuk menjamin anggaran dana bagi LPM ideal, diperlukan sebuah kajian analisa kebutuhan. Paling tidak, kata dia, anggaran disesuaikan dengan jumlah penduduk dan luas daerahnya. "Saya kira butuh proses kajian berapa jumlah pantasnya. Karena yang namanya adil itu kan tidak mesti 1000 dibagi rata 1000. Adil itu bukan bagi rata. Anggaran sesuai jumlah penduduk dan luas daerahnya. Karena untuk tahu jumlahnya, kita mesti tahu berapa masyarakat yang terlibatl," tuturnya.
Ia juga mengidealkan, sebuah pembangunan, konsekuensinya tak mesti harus terpusat di kota kabupaten. Ia memberi contoh di PPU, dapat dibagi rata di empat kecamatan. Biarkan kecamatan ini merencanakan sendiri program pembangunannya. "Jadinya orang tidak berbondong-bondong ke kabupaten. Kabupaten tinggal mengawasi. Justru mengawasi camat-camat kalau tidak bisa laksanakan. Seperti saat ini, saya pikir kalaupun mau demo, demo sampai di kecamatan saja. Sekarang kan demonya sampai di kabupaten. Riskan to. Rentang kendalinya panjang betul. Ini karena kita tidak memberikan kewenangan ke bawah. Tidak mau melepas kewenangan. Ya, sedikit bentuk keserakahan lah," kata dia sembari tertawa.
Dijelaskan dia, untuk bisa menyentuh masyarakat agar dapat mengubah pola pikir diperlukan sebuah visi. Visi yang tepat bagi PPU, kata dia, adalah Menuju PPU Bermartabat. Ia menilai saat ini PPU dalam keadaan kritis sehingga diperlukan sebuah martabat sembari tetap berwibawa. Untuk memulai itu, kata dia konsepnya harus dilihat dari seluruh sudut pandang keilmuan. Pendekatan yang cukup penting menurut Mutalib adalah agama.
"Makanya saya katakan konsep yang ingin saya bangun dimulai dengan membentuk pendidikan Al-Quran. Itu bisa menjadi unggulan kita disini, di Kaltim dan Kalsel tidak ada. Saya ingin ketika orang di Indonesia menyebut nama Penajam, yang muncul dibenaknya adalah tempat pendidikan baca Qurannya yang berkualitas," ucapnya.
Dengan konsep ini, ia berharap dalam kurun waktu dua tahun, masyarakat PPU telah terisi pikiran agamis. Sasarannya seluruh lapisan masyarakat sudah dapat berbahasa Inggris dan Arab. Mewujudkan hal itu, kata dia diperlukan subsidi di tiap mesjid. Instruktur akan memberi pelatihan bahas setiap hari antara Salat Magrib dan Isya. Setiap jamaah masjid mendapat materi tersebut setiap harinya secara gratis.
"Ini jadi hal yang luar biasa karena membuat orang-orang kancar dalam tiga bahasa yakni Indonesia, Inggris dan Arab. Masyarakat Penajam tidak bungul (bodoh) lagi. Komputer tidak perlu dikursuskan lagi, karena kita tahu semua cara mengoperasikan komputer memakai bahasa inggris," kata dia berharap.
Ke depan pula ia ingin masyarakat PPU tergugah untuk hobi membaca. Untuk itu, ia akan menggiatkan perpustakaan di masjid-masjid. Dengan begitu, ia berharap seluruh masyarakat tergugah untuk belajar. Praktis, kata Mutalib, investor akan mudah masuk. Karena moralitas masyarakat terjaga. Dengan imaji sebagai kota religius keamanan investor terjamin.
"Luar biasa kan jika masyarakat penajam menguasai tiga bahasa. Balikpapan sendiri bisa ketinggalan. Ini hanya konsep-konsep yang sederhana. Kenapa kita harus ciptakan konsep seperti ini karena saat ini masyarakat terlalu banyak dididik di depan televisi. yang di depan tv adalah demo, perkelahian, masayarakat mana tahu demo. Kalau diimbangi dengan pembelajaran di mesjid-mesjid, ini akan membuka wawasan masyarakat," tandasnya. (Syahrul)
BIODATA :
Nama : HA Mutalib SH MSi
Tempat, Tgl Lahir : Balikpapan, 7 Oktober 1968
Agama : Islam
Pekerjaan : Pegawai Negeri Sipil Pemkab PPU
Alamat : Jalan Provinsi KM 7 Nipah-Nipah Kec. Penajam
Riwayat Pendidikan :
S1. Universitas Tujuh Belas Agustus. Samarinda
S2. Universitas Brawijaya Malang
Pekerjaan : Kabag Hukum Setda Kab PPU 2005 - sekarang
Organisasi : Ketua LPM Kel. Nipah-Nipah
Nama Istri : Hj Nina Kurniawati
Jumlah Anak : 2 (dua) orang
Orang Tua Kandung : H M Kasim - Hj Maraisah
Orang Tua Kandung Istri : H Radje Mude - Hj Jahra
"Kami bisa berkembang tanpa uang pemerintah. Apalagi dana sekecil itu diperuntukkan kepada LPM kabupaten. Kucuran di LPM kecamatan dan desa malah tidak dianggarkan, kosong. Padahal kita tahu peran LPM sangat strategis. Masyarakat bisa berkreasi, membangun desa, menggelar pelatihan keterampilan dan sebagainya dimulai di LPM-LPM. Tetapi yang terjadi, alokasi dana yang besar malah diberikan kepada KNPI yang dapat sekitar Rp 0,6 miliar, begitupun pengajian Golkar yang dapat sampai Rp 200 juta," tuturnya berang.
2007 Mutalib didaulat sebagai Ketua LPM kabuapten PPU. Kepala Bagian Hukum Setda PPU ini terkaget-kaget. Sebanyak 52 LPM termasuk 47 LPM Desa, 4 LPM kecamatan dan 1 LPM Kabupaten, selama satu tahun hanya mendapat dana alokasi sebesar Rp 5 juta. Keheranan Mutalib memuncak, pasalnya dia tahu kalau melalui surat edaran Mendagri, diminta memberi porsi alokasi anggaran dalam APBD kepada LPM. Melihat kondisi ini, Mutalib mencoba berjuang. Ia meminta penambahan anggaran Rp 2,5 juta. Tak digubris, ia memutuskan tak memakai dana pemkab. Mengambil uang pemkab dianggap sama saja seperti sebuah penghinaan.
"Dengan uang sebesar itu bagaimana merealisasikan program kerja. Kita lalu berembuk mencari jalan keluar. Akhirnya, dengan tertatih-tatih melalui swadaya, program kita lancarkan. Anggaran kita kumpulkan dari usaha ekonomi rakyat yang kami sebut asosiasi LPM. Kita mulai dengan memberi pelatihan-pelatihan kewirausahaan. Pada akhirnya, berhasil dan membiayai kegiatan dari dana hasil wira usaha," ungkapnya.
Perjuangan membangun LPM dipenuhi benturan politik. LPM yang seharusnya mampu menyerap aspirasi masyarakat, dianggap sebagai lawan politik. Kebijakan-kebijakan yang seharusnya terarah kepada LPM, mental ditelan situasi politik PPU.
"LPM hanya dianggap satu dari sekian lembaga-lembaga sosial lainnya. Bukan tempat untuk menampung aspirasi masyarakat dan merealisasikannya melalui program kerja. Keyakinan saya, paradigma ini harus diubah," katanya.
Dituturkan Mutalib, selama ini pemkab tidak pernah melibatkan masyarakat dalam setiap kegiatannya. Proyek-proyek yang digelontorkan pemkab di desa-desa tak menghiraukan masyarakat. Maysrakat tahu proyek ada, tetapi tak tahu seperti apa proyek tersebut dan apa keuntungan proyek itu terhadap mereka. Padahal, kata Mutalib, seyogyanya koordinator pengawas proyek merupakan anggota LPM. LPM diabaikan. Kendati, Mutalib dan LPM berusaha menyuarakan keterlibatan itu, pemkab tetap bergeming.
Pada akhirnya, ia melihat LPM jalan sendiri-sendiri. Mutalib berusaha mempersatukan ke 52 LPM hanya melalui program terpadu. Diantaranya kegiatan keagamaan dan pelatihan. Menurut Mutalib proses untuk meraih kebebesan berkreasi masyarakat tak lebih sebagai proses pembodohan. Kalaupun ada tahapan pengusulan rencana yang disampaikan, pada akhirnya putus pada tahapan menuju ke atas. Komitmen pemerintah jadi tidak jelas. Padahal Mutalib meyakini untuk membesarkan LPM seharusnya perencanaan bentuk kegiatan berasal dari warga dan dilaksanakan oleh warga.
"Prosesnya proses pembodohan saja. Komitmen pemerintah tidak jelas. Padahal saya kira dimana-mana orang butuh komitmen, orang pacaran saja butuh komitmen. Kalau tidak berkomitmen pasti sakit hati. Begitu juga masyarakat, pemerintah tidak komitmen sakit hati. Lima tahun sudah masyarakat di sini sakit hati," ujarnya.
Ia menjelaskan, paling sedikit 50 persen konsep-konsep pemberdayaan seharusnya terlaksana. Saat ini Mutalib melihat konsep pemberdayaan yang diusulkan masyarakat terealisasi hanya 0 persen. Artinya, kata Mutalib, kegiatan-kegiatan yang berjalan adalah kegiatan yang tidak disukai masyarakat. Kegiatan itu sering tiba-tiba muncul, sesuai keinginan kebijakan politik.
"Minimal menurut saya ke depan apa yang diusulkan masyarakat paling tidak 50 persen berjalan. Jangan seperti sekrang yang 0 persen terlaksana. Yang jalan justru yang tidak disukai masyarakat. Kegiatan tiba-tiba muncul kegiatan tetapi hanya sesuai kebijakan politik," kata dia.
Lima tahun tak punya peranan apa-apa, melalui tangan Mutalib LPM mulai bangkit. Meski ia akui jalan masih terseok-seok. Apalagi tanpa ditunjang dana yang mumpuni. Kendati begitu, ia ingin buktikan langkah yang dilakukan tanpa dana secuil pun dari pemerintah bisa terlaksana dan berjalan."Kita coba bangkitkan sedikit-sedikit, terseoklah. Yang namanya perjalanan tanpa dana susah berjalan sebagaimana mestinya. Tapi kita tetap ingin buktikan sekalipun tanpa ambil dana, kita bisa jalan," katanya.
Mutalib mengatakan untuk menjamin anggaran dana bagi LPM ideal, diperlukan sebuah kajian analisa kebutuhan. Paling tidak, kata dia, anggaran disesuaikan dengan jumlah penduduk dan luas daerahnya. "Saya kira butuh proses kajian berapa jumlah pantasnya. Karena yang namanya adil itu kan tidak mesti 1000 dibagi rata 1000. Adil itu bukan bagi rata. Anggaran sesuai jumlah penduduk dan luas daerahnya. Karena untuk tahu jumlahnya, kita mesti tahu berapa masyarakat yang terlibatl," tuturnya.
Ia juga mengidealkan, sebuah pembangunan, konsekuensinya tak mesti harus terpusat di kota kabupaten. Ia memberi contoh di PPU, dapat dibagi rata di empat kecamatan. Biarkan kecamatan ini merencanakan sendiri program pembangunannya. "Jadinya orang tidak berbondong-bondong ke kabupaten. Kabupaten tinggal mengawasi. Justru mengawasi camat-camat kalau tidak bisa laksanakan. Seperti saat ini, saya pikir kalaupun mau demo, demo sampai di kecamatan saja. Sekarang kan demonya sampai di kabupaten. Riskan to. Rentang kendalinya panjang betul. Ini karena kita tidak memberikan kewenangan ke bawah. Tidak mau melepas kewenangan. Ya, sedikit bentuk keserakahan lah," kata dia sembari tertawa.
Dijelaskan dia, untuk bisa menyentuh masyarakat agar dapat mengubah pola pikir diperlukan sebuah visi. Visi yang tepat bagi PPU, kata dia, adalah Menuju PPU Bermartabat. Ia menilai saat ini PPU dalam keadaan kritis sehingga diperlukan sebuah martabat sembari tetap berwibawa. Untuk memulai itu, kata dia konsepnya harus dilihat dari seluruh sudut pandang keilmuan. Pendekatan yang cukup penting menurut Mutalib adalah agama.
"Makanya saya katakan konsep yang ingin saya bangun dimulai dengan membentuk pendidikan Al-Quran. Itu bisa menjadi unggulan kita disini, di Kaltim dan Kalsel tidak ada. Saya ingin ketika orang di Indonesia menyebut nama Penajam, yang muncul dibenaknya adalah tempat pendidikan baca Qurannya yang berkualitas," ucapnya.
Dengan konsep ini, ia berharap dalam kurun waktu dua tahun, masyarakat PPU telah terisi pikiran agamis. Sasarannya seluruh lapisan masyarakat sudah dapat berbahasa Inggris dan Arab. Mewujudkan hal itu, kata dia diperlukan subsidi di tiap mesjid. Instruktur akan memberi pelatihan bahas setiap hari antara Salat Magrib dan Isya. Setiap jamaah masjid mendapat materi tersebut setiap harinya secara gratis.
"Ini jadi hal yang luar biasa karena membuat orang-orang kancar dalam tiga bahasa yakni Indonesia, Inggris dan Arab. Masyarakat Penajam tidak bungul (bodoh) lagi. Komputer tidak perlu dikursuskan lagi, karena kita tahu semua cara mengoperasikan komputer memakai bahasa inggris," kata dia berharap.
Ke depan pula ia ingin masyarakat PPU tergugah untuk hobi membaca. Untuk itu, ia akan menggiatkan perpustakaan di masjid-masjid. Dengan begitu, ia berharap seluruh masyarakat tergugah untuk belajar. Praktis, kata Mutalib, investor akan mudah masuk. Karena moralitas masyarakat terjaga. Dengan imaji sebagai kota religius keamanan investor terjamin.
"Luar biasa kan jika masyarakat penajam menguasai tiga bahasa. Balikpapan sendiri bisa ketinggalan. Ini hanya konsep-konsep yang sederhana. Kenapa kita harus ciptakan konsep seperti ini karena saat ini masyarakat terlalu banyak dididik di depan televisi. yang di depan tv adalah demo, perkelahian, masayarakat mana tahu demo. Kalau diimbangi dengan pembelajaran di mesjid-mesjid, ini akan membuka wawasan masyarakat," tandasnya. (Syahrul)
BIODATA :
Nama : HA Mutalib SH MSi
Tempat, Tgl Lahir : Balikpapan, 7 Oktober 1968
Agama : Islam
Pekerjaan : Pegawai Negeri Sipil Pemkab PPU
Alamat : Jalan Provinsi KM 7 Nipah-Nipah Kec. Penajam
Riwayat Pendidikan :
S1. Universitas Tujuh Belas Agustus. Samarinda
S2. Universitas Brawijaya Malang
Pekerjaan : Kabag Hukum Setda Kab PPU 2005 - sekarang
Organisasi : Ketua LPM Kel. Nipah-Nipah
Nama Istri : Hj Nina Kurniawati
Jumlah Anak : 2 (dua) orang
Orang Tua Kandung : H M Kasim - Hj Maraisah
Orang Tua Kandung Istri : H Radje Mude - Hj Jahra
Komentar
Posting Komentar