Terinspirasi Kebun Botani Singapura, Papua Akan Bangun Kebun Raya



Botanical Garden Singapura menjadi contoh yang tepat untuk konservasi berbagai jenis flora dan fauna. Memadukan antara keindahan dan pelestarian biodiversitas hayati, Botanical Garden Singapura menjadi pusat wisata dan pendidikan lingkungan hidup. Impian yang sama ingin diwujudkan Pemerintah Daerah Papua. Tak ingin kekayaan alam Papua terbengkalai bahkan punah begitu saja, Pemda Papua berencana menggunakan konsep kebun botanikal yang mirip di Singapura. Pemda Papua kemudian merintis kerjasama dengan pengelola Botanical Garden Singapura untuk membangun kebun raya Papua.

Rencana ini sudah dalam tahap pembahasan dengan Duta Besar Singapura ketika berkunjung ke Papua pertengahan 2009. Perwakilan Pemda Papua melalui Dinas Kehutanan Papua juga telah mengunjungi Kebun Raya Singapura untuk membahas masalah teknis dengan pengelola BG Singapura. Diperkirakan secara bertahap selama lima tahun Kebun Raya Papua akan rampung. Pemda telah mencadangkan lahan sekitar 15.000 hektare di kawasan Hutan Abepura.



Kawasan kebun botani ini akan melindungi hutan lindung dan kawasan adat Abepura sekaligus menjadi pusat riset dan wisata di Papua. Ide awalnya berasal dari gubernur Papua yang ingin menjadikan Abepura sebagai kawasan konservasi. Kendati beberapa flora dan fauna endemik Papua terancam punah, namun semangat pembangunan tersebut bukan diinspirasi dari kondisi tersebut, namun menurut Kepala BLHD Papua tak lain adalah memanfaatkan kawasan hutan Abepura. Tak hanya menjadi status hutan lindung, namun dapat dimanfaatkan sebagai pusat pendidikan sekaligus daerah ekowisata.

“Kami kan menjadikan sebagai koleksi keanekaragaman hayati Papua. Sejumlah anggrek langka akan menjadi koleksi kebun botani. Berbagai tanaman dan hewan asli Papua akan menjadi koleksi kebun botani. Karena kekayaan hayati yang dikenal di antero dunia, maka kami juga kan menjadikan kawasan riset biodiversitas. Agar lebih menarik wisatawan nusantara dan mancanegara dan juga menjadi sumber pemasukan daerah, kami merancangnya menjadi tempat ekowisata,” terang Noak.

Alasan memilih Singapura, disebabkan karena negara yang dikenal dengan ikon kepala Singa ini memiliki pengalaman dan ahli untuk perencanaan kebun raya. Sementara untuk pengelolaan akan masih tetap dikelola pihak Papua, khususnya diserahkan kepada Badan Pengelolaan Sumber Daya Alama dan Lingkungan Papua. Untuk pelaksana teknis diserahkan pengelolaannya kepada Dinas Kehutanan dan Konservasi Papua serta Universitas Cendrawasih. “Dishut akan mengelola masalah hutan dan keanekaragaman hayatinya sedangkan riset diserahkan kepada akademisi di Universitas Cendrawasih. Ini akan klop. Sementara ekowisata, masih kami pertimbangkan dari pihak lain agar dapat memompa pemasukan dari bidang wisatanya,” tuturnya.

15.000 hektare yang dicadangkan untuk pembangunan kawasan kebun botani tersebut akan dikerjakan secara bertahap selama lima tahun. Sebagian perencanaan dan konsep sudah rampung. 1000 hektare yang menjadi kawasan hutan lindung Abepura akan dimasukkan dalam kawasan kebun botani. Menurut Noak, untuk menyatukan seluruh kawasan itu masih membutuhkan waktu yang panjang. Kendala juga mengadang dari masyarakat adat yang berada di kawasan tersebut. Diperlukan sosialiasi dan pengertian kepada masyarakat adat bahwa kawasan itu sekaligus untuk melindungi kepentingan mereka.

“Masyarakat adat menganggap kami akan menyingkirkan mereka kalau kebun botani jadi dibangun. Namun, kita berusaha menjelaskan bahwa mereka tetap berada di kawasan itu dan menjadi bagian kebun botani Papua. Kita juga telah menjelaskan lewat media. Bekerjasama dengan LSM yang mendampingi mereka bahwa kebun botani tersebut tak akan menyingkirkan mereka dari kawasan itu. Mereka tetap mengelola lahan adat yang menjadi hak mereka. Kebun botani ini lebih kepada untuk melindungi mereka, hutan dan flora dan fauna Papua,” jelasnya.

Kendala lainnya adalah pendanaan. Anggaran untuk merampungkan pembangunan kebun botani tersebut diperkirakan mencapai Rp 10 miliar. Dana ini tak sekaligus dikucurkan namun secara bertahap diberikan selama lima tahun. Anggaran ini telah dibahas antara DPRD Papua dan Pemda Papua. Menurut Noak, secara subtantif sudah terjalin kesepahaman antara legislatif dan eksekutif Papua. Sebab, pembangunan kebun botani ini untuk kepentingan keanekaragaman hayati Papua agar dapat terlindungi. Dari sisi pendidikan akan menjadikan pula kebun botani sebagai pusat riset flora dan fauna di kawasan Indonesia Timur.

“Memang ada kendala pendanaan, namun bukan masalah serius. Ini untuk kepentingan bersama,” ujar Noak.

Ia menuturkan sebagai kebijakan dari Gubernur Papua, maka seluruh SKPD sangat mendukung. Dari sisi akademisi, dinas terkait hingga bidang usaha menyambut baik rencana ini. Ia akui pembangunan kebun botani ini sudah sangat terlambat dibandingkan daerah-daerah lain yang tak sekaya dalam produk keanekaragaman hayati. Namun, Noak yakin semua sudah dimulai sehingga yang perlu adalah dukungan masyarakat dan semua pihak di Papua. Yang pasti ia menegaskan kepada masyarakat adat agar tidak perlu menghalangi pembangunan kebun botani karena status hutan Abepura tetap hutan lindung dan masyarakat adat masih tetap menjadi bagian hutan tersebut. Ini , ucap Noak, sudah terangkum dalam RTRW Papua.

“Kita ini sudah terlambat membangun kebun botani dibandingkan daerah lain. Padahal kita dikenal sebagai daerah yang kaya akan biodiversitas flora dan fauna. Kalau tetap dibiarkan begitu saja tanpa ada konservasi, kita akan banyak kehilangan keanekaragam hayati. Anggrek di Papua dikenal yang paling lengkap, sebagian dilestarikan oleh masyarakat pecinta anggrek di Papua. Untuk itu, kami ingin punya kontribusi menjaganya. Tidak ada kata terlambat, yang penting kita sudah memulainya. Maka itu kami hanya perlu dukungan semua pihak terutama masyarakat Papua, “ tegasnya. (NS)

Komentar