Hutan merupakan sumber kehidupan. Ia mampu menampung air di kala hujan. Tatkala kemarau, ia menjadi sumber mata air yang memberi kehidupan bagi manusia dan ekosistem di sekitarnya. Maka, ia dipandang dalam berbagai perspektif dan dimanfaatkan banyak kepentingan. Sayangnya, selalu saja tata kelola dari pemegang kebijakan amburadul. Masalah kehutanan lahir bagai benang kusut sulit terurai. Dari regulasi kehutanan, penegakan hukum terhadap pembalakan liar, penerbitan izin konsesi dan izin perluasan perusahaan perkebunan di hutan alam yang menerabas aturan, tumpang tindih kawasan kehutanan hingga konflik agraria terkait hak ulayat untuk masyarakat adat seperti tak berkesudahan.
Undang-Undang (UU) yang saling tumpang tindih dituding sebagai biang keroknya. Sebut saja masalah teranyar akibat regulasi yang karut marut ini adalah rencana pengegolan Rancangan Undang-Undang (RUU) Mineral dan Batubara (Minerba) dan pemberlakuan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 2 Tahun 2008 tentang jenis dan tarif atas jenis penerimaan negara bukan pajak yang berasal dari penggunaan kawasan hutan untuk kepentingan pembangunan di luar kegiatan kehutanan yang berlaku pada Departemen Kehutanan. Dua regulasi ini bertentangan dengan semangat penyelamatan hutan.
RUU Minerba dinilai berpotensi memberi peluang yang besar untuk menghancurkan lingkungan dan menyingkirkan rakyat dari berbagai wilayah yang memiliki deposit mineral. Sedangkan PP tentang jenis tarif memberi keleluasaan digunakannya kawasan hutan lindung. Sejumlah kalangan menganggap cacat hukum karena hanya memuat soal tarif bukan izin pembabatan hutan. Menurut Ketua Presidium Dewan Kehutanan Nasional (DKN) Hariadi Kartodihardjo bertentangan dengan aturan di atasnya yakni UU No 19 Tahun 2004 tentang penambangan di hutan lindung. Dimana UU tersebut menyebutkan hanya 14 perusahaan boleh menambang di kawasan hutan lindung.
Ironisnya PP No 2/2008 ini diberlakukan hanya dua bulan seusai menjadi tuan rumah Konferensi PBB untuk Perubahan Iklim dan di tengah rentetan bencana ekologis. PP yang mengatur pemberian izin pembukaan hutan untuk pertambangan, pembangunan infrastruktur telekomunikasi, energi, dan jalan tol ini ternyata memberi tarif sewa sangat murah. Alih fungsi hutan produksi dan hutan lindung hanya dikenai tarif Rp 1,2 juta hingga Rp 3 juta per hektar per tahun, atau Rp 120 hingga Rp 300 per meter.
Sementara pihak Norwegia telah meminta Indonesia untuk merampungkan Peraturan Presiden (Perpres) yang mengatur soal moratorium konversi hutan primer dan lahan gambut. Perpres dianggap menjadi dasar dari pelaksanaan kerjasama REDD+. Namun, permintaan itu hingga kini belum terealisasi. Padahal, dalam kesepakatan dengan Norwegia, moratorium berlaku dua tahun sejak 1 Januari 2011 hingga 31 Desember 2012.
Saat ini moratorium tengah dijalankan tapi lihat saja sepak terjang pemerintah di daerah, mereka mempercepat persetujuan izin pengeksplorasian tambang di hutan lindung seperti di Gorontalo melalui perusahaan Gorontalo Minerals dimana Menteri Kehutanan mengeluarkan surat keputusan (SK) bernomor 324 tahun 2010 begitupun dengan PT Gorontalo Sejahtera Mining. Sedangkan di Sulawesi Utara pemda memasukkan pengoperasian PT Meares Soputan Mining (MSM) dalam RTRW padahal MSM bukan hutan konservasi. Tak hanya itu membiarkan tetap beroperasi PT Avocet dan PT East Asia di Sangihe.
Kendati pemegang otoritas negara belum menjalankan dengan benar moratorium sesuai kesepakatan Norwegia, Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (Apkasindo) malah sudah mengajukan penolakan terhadap Letter Of Intent (LoI) yang diteken Presiden Susilo Bambang Yudhoyono itu. Ia memberi argumentasi bahwa setidaknya ada beberapa peraturan perundang-undangan yang dilanggar jika moratorium itu dijalankan, yaitu PP Nomor 10 Tahun 2010 tentang Tata Cara Perubahan dan Peruntukkan Fungsi Kawasan Hutan, PP Nomor 24 Tahun 2010 tentang Penggunaan Kawasan Hutan, PP Nomor 6 Tahun 2007 jo PP Nomor 3 Tahun 2008 tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan, dan PP Nomor 44 Tahun 2009 tentang Perencanaan Kehutanan dan PP Nomor 45 Tahun 2009 jo PP Nomor 60 Tahun 2009 tentang Perlindungan Hutan.
Lain lagi masalah UU tentang kehutanan. Kendati UU No 41/1999 tentang kehutanan sedikit mampu membekap aksi brutal para investor pertambangan, sayangnya pemerintah sendiri malah memberi celah dengan menciptakan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) No 1/2004. Agar lebih kuat Perppu tersebut malah ditetapkan menjadi UU No 19 tahun 2004. UU ini menyatakan semua perizinan atau perjanjian di bidang pertambangan di kawasan hutan yang telah ada sebelum berlakunya UU No 41/1999, dinyatakan tetap berlaku sampai berakhirnya izin atau perjanjian yang dimaksud.
Jelas-jelas hal ini menganulir pasal 38 UU No 41/1999 yang melarang penambangan terbuka di kawasan hutan lindung. Seakan dianggap belum cukup mengakomodasi kepentingan perusahaan tambang, pemerintah lalu mengeluarkan Keppres No 41 tahun 2004 yang melegalkan 14 perusahaan tambang beroperasi di hutan lindung. Anehnya, Agustus 2004 pemerintah malah meratifikasi Protokol Cartagena tentang perlindungan keanekaragaman hayati, dengan menelorkan UU No 21 Tahun 2004. Inilah ketidakkonsistenan pemerintah Indonesia yang menyebabkan karut marut masalah kehutanan.
Titik pangkal adalah investasi. Ingin meraup lebih banyak pendapatan negara melalui pajak. Maka regulasi dibuat untuk mengakomodasi kepentingan investor. Dikeluarkanlah Keputusan Presiden (Keppres) No 32 Tahun 1990. Keppres ini mengenai pengelolaan kawasan hutan lindung. Jika kawasan tersebut terindikasi memiliki kandungan deposit mineral, air tanah dan kekayaan lainnya, maka kegiatan pertambangan di kawasan hutan lindung diizinkan.
Regulasi yang mendukung investasi tambang diteken lagi melalui UU No 25 Tahun 2007 tentang penanaman modal untuk mengganti UU Nomor 1 Tahun 1967 dan UU No 11 Tahun 2007 tentang penanaman modal asing. Dengan UU ini pengusaha mendapat kemudahan Hak Guna Usaha (HGU) selama 95 tahun yang dapat diperpanjang di depannya sekaligus selama 60 tahun. Bahkan dapat diperbarui selama 35 tahun. Selain itu Hak Guna Bangunan (HGB) dapat digunakan selama 80 tahun dan hak pakai selama 70 tahun dan masing-masing dapat diperpanjang dan diperbarui. Buat regulasi tumpang tindih dan hanya mengakomodasi kepentingan pengusaha, akan jadi apa hutan Indonesia. (NS)
Undang-Undang (UU) yang saling tumpang tindih dituding sebagai biang keroknya. Sebut saja masalah teranyar akibat regulasi yang karut marut ini adalah rencana pengegolan Rancangan Undang-Undang (RUU) Mineral dan Batubara (Minerba) dan pemberlakuan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 2 Tahun 2008 tentang jenis dan tarif atas jenis penerimaan negara bukan pajak yang berasal dari penggunaan kawasan hutan untuk kepentingan pembangunan di luar kegiatan kehutanan yang berlaku pada Departemen Kehutanan. Dua regulasi ini bertentangan dengan semangat penyelamatan hutan.
RUU Minerba dinilai berpotensi memberi peluang yang besar untuk menghancurkan lingkungan dan menyingkirkan rakyat dari berbagai wilayah yang memiliki deposit mineral. Sedangkan PP tentang jenis tarif memberi keleluasaan digunakannya kawasan hutan lindung. Sejumlah kalangan menganggap cacat hukum karena hanya memuat soal tarif bukan izin pembabatan hutan. Menurut Ketua Presidium Dewan Kehutanan Nasional (DKN) Hariadi Kartodihardjo bertentangan dengan aturan di atasnya yakni UU No 19 Tahun 2004 tentang penambangan di hutan lindung. Dimana UU tersebut menyebutkan hanya 14 perusahaan boleh menambang di kawasan hutan lindung.
Ironisnya PP No 2/2008 ini diberlakukan hanya dua bulan seusai menjadi tuan rumah Konferensi PBB untuk Perubahan Iklim dan di tengah rentetan bencana ekologis. PP yang mengatur pemberian izin pembukaan hutan untuk pertambangan, pembangunan infrastruktur telekomunikasi, energi, dan jalan tol ini ternyata memberi tarif sewa sangat murah. Alih fungsi hutan produksi dan hutan lindung hanya dikenai tarif Rp 1,2 juta hingga Rp 3 juta per hektar per tahun, atau Rp 120 hingga Rp 300 per meter.
Sementara pihak Norwegia telah meminta Indonesia untuk merampungkan Peraturan Presiden (Perpres) yang mengatur soal moratorium konversi hutan primer dan lahan gambut. Perpres dianggap menjadi dasar dari pelaksanaan kerjasama REDD+. Namun, permintaan itu hingga kini belum terealisasi. Padahal, dalam kesepakatan dengan Norwegia, moratorium berlaku dua tahun sejak 1 Januari 2011 hingga 31 Desember 2012.
Saat ini moratorium tengah dijalankan tapi lihat saja sepak terjang pemerintah di daerah, mereka mempercepat persetujuan izin pengeksplorasian tambang di hutan lindung seperti di Gorontalo melalui perusahaan Gorontalo Minerals dimana Menteri Kehutanan mengeluarkan surat keputusan (SK) bernomor 324 tahun 2010 begitupun dengan PT Gorontalo Sejahtera Mining. Sedangkan di Sulawesi Utara pemda memasukkan pengoperasian PT Meares Soputan Mining (MSM) dalam RTRW padahal MSM bukan hutan konservasi. Tak hanya itu membiarkan tetap beroperasi PT Avocet dan PT East Asia di Sangihe.
Kendati pemegang otoritas negara belum menjalankan dengan benar moratorium sesuai kesepakatan Norwegia, Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (Apkasindo) malah sudah mengajukan penolakan terhadap Letter Of Intent (LoI) yang diteken Presiden Susilo Bambang Yudhoyono itu. Ia memberi argumentasi bahwa setidaknya ada beberapa peraturan perundang-undangan yang dilanggar jika moratorium itu dijalankan, yaitu PP Nomor 10 Tahun 2010 tentang Tata Cara Perubahan dan Peruntukkan Fungsi Kawasan Hutan, PP Nomor 24 Tahun 2010 tentang Penggunaan Kawasan Hutan, PP Nomor 6 Tahun 2007 jo PP Nomor 3 Tahun 2008 tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan, dan PP Nomor 44 Tahun 2009 tentang Perencanaan Kehutanan dan PP Nomor 45 Tahun 2009 jo PP Nomor 60 Tahun 2009 tentang Perlindungan Hutan.
Lain lagi masalah UU tentang kehutanan. Kendati UU No 41/1999 tentang kehutanan sedikit mampu membekap aksi brutal para investor pertambangan, sayangnya pemerintah sendiri malah memberi celah dengan menciptakan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) No 1/2004. Agar lebih kuat Perppu tersebut malah ditetapkan menjadi UU No 19 tahun 2004. UU ini menyatakan semua perizinan atau perjanjian di bidang pertambangan di kawasan hutan yang telah ada sebelum berlakunya UU No 41/1999, dinyatakan tetap berlaku sampai berakhirnya izin atau perjanjian yang dimaksud.
Jelas-jelas hal ini menganulir pasal 38 UU No 41/1999 yang melarang penambangan terbuka di kawasan hutan lindung. Seakan dianggap belum cukup mengakomodasi kepentingan perusahaan tambang, pemerintah lalu mengeluarkan Keppres No 41 tahun 2004 yang melegalkan 14 perusahaan tambang beroperasi di hutan lindung. Anehnya, Agustus 2004 pemerintah malah meratifikasi Protokol Cartagena tentang perlindungan keanekaragaman hayati, dengan menelorkan UU No 21 Tahun 2004. Inilah ketidakkonsistenan pemerintah Indonesia yang menyebabkan karut marut masalah kehutanan.
Titik pangkal adalah investasi. Ingin meraup lebih banyak pendapatan negara melalui pajak. Maka regulasi dibuat untuk mengakomodasi kepentingan investor. Dikeluarkanlah Keputusan Presiden (Keppres) No 32 Tahun 1990. Keppres ini mengenai pengelolaan kawasan hutan lindung. Jika kawasan tersebut terindikasi memiliki kandungan deposit mineral, air tanah dan kekayaan lainnya, maka kegiatan pertambangan di kawasan hutan lindung diizinkan.
Regulasi yang mendukung investasi tambang diteken lagi melalui UU No 25 Tahun 2007 tentang penanaman modal untuk mengganti UU Nomor 1 Tahun 1967 dan UU No 11 Tahun 2007 tentang penanaman modal asing. Dengan UU ini pengusaha mendapat kemudahan Hak Guna Usaha (HGU) selama 95 tahun yang dapat diperpanjang di depannya sekaligus selama 60 tahun. Bahkan dapat diperbarui selama 35 tahun. Selain itu Hak Guna Bangunan (HGB) dapat digunakan selama 80 tahun dan hak pakai selama 70 tahun dan masing-masing dapat diperpanjang dan diperbarui. Buat regulasi tumpang tindih dan hanya mengakomodasi kepentingan pengusaha, akan jadi apa hutan Indonesia. (NS)
Komentar
Posting Komentar