Bombana. Namanya serupa bom, namun bagi kalangan ekologis, ia serupa bencana. Betapa tidak, meski perutnya mengandung emas, tapi jangan berpikir ia hanya anugrah semata bagi manusia. Ia adalah bom waktu yang setiap saat akan menjadi badai lingkungan hidup. Emas jadi berkah sekaligus bencana, terutama bila tak diatur secara bijaksana.
Menyaksikan maraknya penambangan emas di kecamatan Rarowatu, Kabupaten Bombana, Sulawesi Tenggara, kalangan ekologis tak sangsi memprediksi bakal menjadi sebuah petaka lingkungan. Sejumlah perusahaan dan masyarakat menambang secara legal maupun ilegal secara serampangan tanpa memperhatikan kondisi lingkungan, perlahan dan pasti prediksi itu secara kasat mata mulai terlihat. Kini, masyarakat tak lagi dapat meminum air karena sungai-sungai rusak disebabkan air sungai tercemar merkuri. Hamparan sawah tak lagi menguning lantaran padi tak lagi bisa tumbuh.
Sejak temuan emas oleh salah satu penduduk di Sungai Tahi Ite, Bombana tak lagi nyaman sebagai pemukiman. Hampir setiap orang hanya punya satu tujuan berada di Bombana, ingin memanen emas. Kabupaten kecil ini memang kaya. Hasil uji laboratorium menyebutkan perut Bombana mengandung deposit emas sebanyak 184.000 ton. Dua sungai yakni Sungai Tahi Ite dan Ububangka mengandung kadar emas 197 PPM (Part Per Million). Jika dihitung berdasarkan satu ton pasir, maka kadar emas dalam pasir tersebut mengandung 197 gram emas. Bayangkan mengingat harga emas terus meroket. Harga emas saat ini berada dikitaran Rp 400.000 per gram.
Tentu tak aneh, jika siapa saja berbondong-bondong ke Bombana. Mulai dari kawasan Sultra sendiri hingga Sulawesi, bahkan Jawa, maupun Maluku. Kendati dilarang, penambang tetap datang. Bahkan meskipun sejumlah kawasan tambang rentan roboh bahkan berpotensi menewaskan penambang, toh mereka tetap menjalankan aktivitasnya. Normalisasi Daerah Aliran Sungai (DAS) malahan dirusak akibat aktivitas sejumlah penambang. Penambang tak segan-segan menggunakan alat-alat berat mulai eskavator hingga alat penyedot lumpur. Tak aneh, jika berada di Bombana, kondisi tanah di beberapa titik laksana pulau kubangan. Hamparan tanah dipenuhi galian-galian menggunakan alat ringan hingga alat berat.
Ironisnya, masyarakat di kawasan tersebut tak menikmati limpahan berkah emas. Mereka malah menerima dampak negatifnya dengan semakin sulitnya menemukan air minum akibat pencemaran, kebun-kebun tak lagi menghasilkan, hingga masyarakat kampung tak lagi bisa sekedar melintas di areal sekitar pertambangan lantaran larangan dari pemda setempat, padahal kawasan itu sangat dekat dengan areal perkebunan warga.
Tak hanya Bombana, di Pomalaa, penambangan emas dan bijih nikel juga dilakukan perusahaan besar Aneka Tambang (Antam) di sebagian besar hutan dan sungai-sungainya. Bukan tak mungkin lagi jika hutan-hutan di sejumlah kabupaten di Sultra kini sudah berubah fungsi menjadi kawasan pertambangan juga perkebunan maupun pemukiman. Dari sejumlah data yang dikumpulkan, provinsi Sulawesi Tenggara mengusulkan alih fungsi hutan seluas 310 ribu hektare. Namun kajian terpadu yang dibentuk Menhut memangkas usulan itu menjadi separuhnya yakni 166 ribu hektare. Sebagian hutan yang akan dialihfungsikan ini berada di Taman Nasional Rawa Aopa Watumohai dan Cagar Alam Tanjung Peropa.
Kepala Badan Lingkungan Hidup (BLH) Sulawesi Tenggara Andi Arya Pangerang mengakui adanya alih fungsi hutan di Sultra, khusus lahan-lahan yang tidak produktif. Tapi menurutnya, saat ini pemprov Sultra tengah mengusulkan alih fungsi hutan tak produktif. Kini masih dalam proses di Departemen Kehutanan. Terlebih lagi menurut Arya, Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) yang telah mereka godok masih menunggu persetujuan Badan Koordinasi Tata Ruang Nasional (BKTRN).
“Ada upaya lahan-lahan tidak produktif meskipun berada di lingkungan hutan ingin dimanfaatkan sebaik mungkin. Tapi tidak semua hutan. Penambangan boleh saja, tidak haram, tetapi harus ada upaya pembebasan. Tujuan perubahan alih fungsi hutan kan ini untuk pembangunan ya berarti untuk manusia juga,” ungkap Andi.
Terkait penambangan emas, Andi mengatakan saat ini tengah dihentikan dulu lantaran masih dalam kerangka moratorium. Moratorium ini untuk mengkonsolidasikan seberapa penting penambangan emas untuk daerah, apakah sudah memenuhi syarat eksplorasi agar tak terjadi kerusakan lingkungan yang lebih parah dan mengatur regulasi. “Moratorium ini untuk mengatur kembali apa yang perlu dan tidak perlu dilakukan. Ya kalau masih ada yang melakukan aktivitas sementara masih dalam proses moratorium yang baru berakhir Desember 2012, tentu akan berhadapan dengan hukum,” tukasnya.
Kondisi yang sama terjadi pula pada Provinsi Gorontalo. Lebih parah lagi lantaran kandungan emas berada di kawasan hutan lindung dan Taman Nasional Bogani Nani Wartabone (TNBNW). Taman seluas 500 ribu hektare tersebut semakin memprihatinkan sebab sekitar 78.158 luasannya telah berubah fungsi akibat aturan yang memperkenankan alih fungsi hutan (dari hutan menjadi nonhutan atau hutan konservasi menjadi hutan produksi dan sebaliknya) entah menjadi kawasan pertambangan, pemukiman atau perkebunan.
Ironisnya taman nasional yang menjadi penyangga ekosistem di Gorontalo tersebut malah didukung kerusakannya oleh pemimpin tertinggi pemda sendiri. Berkat rekomendasi pemprov Gorontalo tahun 2009—kala itu gubernur masih Fadel Muhammad-- dikeluarkanlah surat keputusan (SK) Menteri Kehutanan bernomor 324 tahun 2010 mengenai alih fungsi TNBNW. SK ini memberi konsesi penambangan bagi PT Gorontalo Mineral milik Bakrie Grup. Kendati dinilai menyalahi prosedur, karena dilakukan sebelum Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) selesai dibahas, namun perusahaan yang memiliki konsesi 36 ribu hektare ini tetap beroperasi.
Kehadiran Gorontalo Minerals kontan membuat aktivis lingkungan di Gorontalo meradang. Sebagai penyangga ekosistem Gorontalo, TNBNW tak hanya melindungi Banjir dan longsor, tetapi juga menjaga habitat hewan dan tumbuhan endemik khas Gorontalo. Ini ancaman bagi burung maleo, monyet Dumoga-Bone, dan kelelawar Bone lantaran Taman Nasional Naniwartabone merupakan habitat satwa endemik tersebut. Kabar disetujui beroperasinya anak perusahaan Bumi Resources Tbk ini jelas mengundang polemik, terutama antara pemegang kebijakan yang ingin meraup pajak (PAD) sebanyak-banyaknya dan para aktivis lingkungan yang tak ingin petaka yang sama terjadi pula pada mereka seperti di Wasior, Papua. Akibat illegal logging dan perambahan hutan secara amburadul mengakibatkan banjir bandang menghancurkan satu kabupaten.
“Ini seolah-olah memaksakan Gorontalo Minerals masuk. Bahkan sempat Fadel mewacanakan dilakukan tukar guling TNBNW. Ada skenario politik bermain di sini. Kita tahu mereka kan milik Grup Bakrie, keterikatan Fadel dan Bakrie jelas,” ucap Rahman Dako Aktivis Lingkungan dari Jaring Advokasi dan Pengelolaan Sumber Daya Alam (Japesda) Gorontalo. Meski kekuatan Grup Bakrie sangat besar di lingkungan Kementerian Dalam Negeri, Rahman mengatakan akan menangkal dengan menggalang dukungan yang lebih besar di tingkat nasional. “Ini memang perlu perjuangan besar, hutan di Gorontalo sudah terdegradasi sangat parah. Untuk itu memang perlu moratorium saat ini, hanya saja Perusahaan Bakrie memaksa. Menurut saya ini lucu saja,” ucapnya.
Sementara Gorontalo Minerals masih terus dilanda polemik, tak dinyana sejumlah perusahaan yang sudah lebih dahulu memiliki kontrak karya masih terus beroperasi di taman nasional tersebut. Sebut saja PT Maju Jaya Mining, Karya Piranti Interbuana, PT Eksplorasi Indonusa Jaya dan Utah Pacific, kontrak karya perusahaan ini sudah habis tapi regulasi yang berlaku masih mengakomodasi bila ingin kembali memperpanjang kontrak. Belum lagi menyebut ribuan penambang ilegal, illegal logging dan perambah hutan lainnya. Kini kerusakan hutan TNBNW sudah mencapai kitaran 500 ribu hekatare. “Yang kontraknya masih berlaku meski tengah dalam proses moratorium masih tetap dapat melakukan eksplorasi. Tapi menunggu proses moratorium selesai baru bisa beroperasi lagi. Tapi jika ingin beroperasi mereka harus kembali mengurus perizinan,” tukas Rugayya Biki, Kepala Bagian Lingkungan Hidup BLH Gorontalo.
Penambang ilegal kerap menjadi kambing hitam. Bukan hanya di Gorontalo tetapi di banyak provinsi lainnya. Bahkan pemprov Gorontalo berdalih dengan hadirnya perusahaan besar yang mengelola tambang di kawasan hutan akan lebih aman. Penambang liar dianggap menjadi penyebab utama rusaknya hutan Gorontalo, padahal sebagian besar penambang melakukan aksinya di bekas lahan konsesi penambang legal. “Penambang liar malah memperparah taman nasional Naniwartabone,” ucap Kepala Bagian Lingkungan BLH Gorontalo Rugayya Biki ketika diwawancarai beberapa waktu lalu.
Kondisi kawasan hutan lindung di sejumlah daerah di Sulawesi dapat dikatakan memprihatikan. Tak hanya Sultra dan Gorontalo, juga Sulawesi Utara. Parahnya, hutan lindung di Sulut kini tinggal 810 ribu hektar atau sekitar 53 persen. Catatan ini perlu digarisbawahi sebab mengancam kestabilan konservasi lingkunan alam. Hutan di Sulut sebagian besar sudah dalam kondisi kritis akibat pertambangan emas, program transmigrasi, pembalakan liar dan kegiatan industri yang merugikan. Hal ini diperparah lagi oleh dua perusahaan hak pengelolaan hutan yang masih terus beroperasi hingga kini yakni PT Lembah Pertama dan Yuma yang memiliki izin operasi yang cukup lama. Begitupun PT Avocet dan PT East Asia di Sangihe
Yang lebih memiriskan lagi, Rencana Tata Ruang Wilayah 2010 – 2030 memberi tempat bagi perusahaan PT Meares Soputan Mining (MSM) untuk mengeksplorasi emas di kawasan hutan konservasi desa Toka Tidung, Kabupaten Minahasa Utara. Sementara kawasan konsesi MSM tersebut masuk dalam wilayah konservasi. Penyebabnya karena pemda Sulut memberikan toleransi pengurangan hutan sekitar 27, 804 ha untuk penggunaan pertambangan, pembangunan infrastruktur jalan dan pemukiman. Sementara alih fungsi hutan menjadi areal perkebunan ditolak sebab hanya dikuasai kelompok tertentu atau pribadi. Akhirnya, luasan kawasan hutan di Sulut yang digunakan menjadi areal peruntukan lain (APL) yang tadinya seluas 793.696 ha, kini telah menjadi 765.892 ha. Terjadi luasan APL sekitar 1,23 persen setelah RTRW Sulut disetujui Badan Koordinasi Tata Ruang Nasional (BKTRN).
Kepala BLH Sulawesi Utara, Olvie menjelaskan bahwa saat ini pemerintah daerah tak lagi memproses izin perusahaan pertambangan. Kendati deposit emas sangat besar, sejumlah bupati mulai membatasi perizinan. “Mereka tak mau lagi memberi rekomendasi,” tutur Olvie. Namun, ia mengecualikan yang sudah ada. Menurutnya, perusahaan yang sudah memiliki kontrak karya, masih bisa beroperasi hingga masa kontrak habis.
Ditambahkan Olvie, kehadiran perusahaan investor memiliki dampak positif dan negatif. Namun ia tak berani memaparkan apa saja dampaknya. “Itu memerlukan kajian, kami sendiri belum melakukan kajiannya,” ucapnya. Kendati begitu ia berujar bahwa setiap eksplorasi pasti ada pengaruhnya. Pihak BLH sendiri lebih banyak melakukan mediasi dan sosialisasi. Kewenangan lainnya adalah memberikan persetujuan terhadap kelayakan AMDAL. “Kalau memenuhi syarat, tak ada alasan kami menolak,” tandasnya.
Sulawesi Selatan sendiri juga mengalami kerusakan hutan yang parah. Dua perusahaan yang cukup berpengaruh di Sulawesi Selatan melakukan aktivitas penambangan di hutan dan bukit karst. Perusahaan tersebut adalah Inco Tbk dan PT Semen Tonasa. Inco yang telah memulai kegiatan eksplorasi intensif sejak tahun 1968 berada sangat dekat dengan Danau Matano yang merupakan danau terdalam ke enam di dunia dan sumber mata air bagi masyarakat Sorowako-Malili. Dua dekade keberadaan Inco mengubah wajah kota kecil Sorowako dari desa kecil dan sepi bertansformasi menjadi kota modern. Keberadaan perusahaan Canada-Jepang ini bagai magnet bagi banyak orang. Orang-orang dari berbagai daerah berbondong-bondong datang kemudian membuka lahan untuk pemukiman, berladang, dan konversi lahan lainnya.
Sementara PT Tonasa yang memiliki lahan konsesi di perbukitan karst Maros-Pangkep mengeksploitasi sumberdaya karst secara besar-besaran berupa batuan kapur (limestone) dan bahan galian tambang lainnya. Padahal, pertambangan kapur sebagai bahan baku industri semen dapat menyebabkan rusaknya sungai-sungai bawah tanah yang mengalir di sekitar kawasan tersebut. Pertambangan kapur di kawasan karst Maros-pangkep juga berpotensi mengancam hilangnya tutupan hutan yang menjadi habitat satwa-satwa endemik.
Bentang alam Kabupaten Maros-Pangkep sebagian besar diantaranya merupakan kawasan karst yang bertipikal tower karst, karst yang berbentuk menara. Sebagian besar kawasan ini merupakan bagian dari kawasan konservasi Taman Nasional Bantimurung-Bulusaraung. Kawasan karst ini menjadi salah satu habitat Kupu-kupu Raja, satwa endemik, yang menjadi ikon taman nasional. Tidak hanya Kupu-Kupu Raja, tetapi juga Rangkong Sulawesi, burung endemik yang hanya dapat dijumpai di Sulawesi. Pada akhirnya fenomena biodiversity lost akan terjadi jika pertambangan batu kapur di kawasan karst tidak mengindahkan nilai ekologi dan konservasi. (NS)
Menyaksikan maraknya penambangan emas di kecamatan Rarowatu, Kabupaten Bombana, Sulawesi Tenggara, kalangan ekologis tak sangsi memprediksi bakal menjadi sebuah petaka lingkungan. Sejumlah perusahaan dan masyarakat menambang secara legal maupun ilegal secara serampangan tanpa memperhatikan kondisi lingkungan, perlahan dan pasti prediksi itu secara kasat mata mulai terlihat. Kini, masyarakat tak lagi dapat meminum air karena sungai-sungai rusak disebabkan air sungai tercemar merkuri. Hamparan sawah tak lagi menguning lantaran padi tak lagi bisa tumbuh.
Sejak temuan emas oleh salah satu penduduk di Sungai Tahi Ite, Bombana tak lagi nyaman sebagai pemukiman. Hampir setiap orang hanya punya satu tujuan berada di Bombana, ingin memanen emas. Kabupaten kecil ini memang kaya. Hasil uji laboratorium menyebutkan perut Bombana mengandung deposit emas sebanyak 184.000 ton. Dua sungai yakni Sungai Tahi Ite dan Ububangka mengandung kadar emas 197 PPM (Part Per Million). Jika dihitung berdasarkan satu ton pasir, maka kadar emas dalam pasir tersebut mengandung 197 gram emas. Bayangkan mengingat harga emas terus meroket. Harga emas saat ini berada dikitaran Rp 400.000 per gram.
Tentu tak aneh, jika siapa saja berbondong-bondong ke Bombana. Mulai dari kawasan Sultra sendiri hingga Sulawesi, bahkan Jawa, maupun Maluku. Kendati dilarang, penambang tetap datang. Bahkan meskipun sejumlah kawasan tambang rentan roboh bahkan berpotensi menewaskan penambang, toh mereka tetap menjalankan aktivitasnya. Normalisasi Daerah Aliran Sungai (DAS) malahan dirusak akibat aktivitas sejumlah penambang. Penambang tak segan-segan menggunakan alat-alat berat mulai eskavator hingga alat penyedot lumpur. Tak aneh, jika berada di Bombana, kondisi tanah di beberapa titik laksana pulau kubangan. Hamparan tanah dipenuhi galian-galian menggunakan alat ringan hingga alat berat.
Ironisnya, masyarakat di kawasan tersebut tak menikmati limpahan berkah emas. Mereka malah menerima dampak negatifnya dengan semakin sulitnya menemukan air minum akibat pencemaran, kebun-kebun tak lagi menghasilkan, hingga masyarakat kampung tak lagi bisa sekedar melintas di areal sekitar pertambangan lantaran larangan dari pemda setempat, padahal kawasan itu sangat dekat dengan areal perkebunan warga.
Tak hanya Bombana, di Pomalaa, penambangan emas dan bijih nikel juga dilakukan perusahaan besar Aneka Tambang (Antam) di sebagian besar hutan dan sungai-sungainya. Bukan tak mungkin lagi jika hutan-hutan di sejumlah kabupaten di Sultra kini sudah berubah fungsi menjadi kawasan pertambangan juga perkebunan maupun pemukiman. Dari sejumlah data yang dikumpulkan, provinsi Sulawesi Tenggara mengusulkan alih fungsi hutan seluas 310 ribu hektare. Namun kajian terpadu yang dibentuk Menhut memangkas usulan itu menjadi separuhnya yakni 166 ribu hektare. Sebagian hutan yang akan dialihfungsikan ini berada di Taman Nasional Rawa Aopa Watumohai dan Cagar Alam Tanjung Peropa.
Kepala Badan Lingkungan Hidup (BLH) Sulawesi Tenggara Andi Arya Pangerang mengakui adanya alih fungsi hutan di Sultra, khusus lahan-lahan yang tidak produktif. Tapi menurutnya, saat ini pemprov Sultra tengah mengusulkan alih fungsi hutan tak produktif. Kini masih dalam proses di Departemen Kehutanan. Terlebih lagi menurut Arya, Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) yang telah mereka godok masih menunggu persetujuan Badan Koordinasi Tata Ruang Nasional (BKTRN).
“Ada upaya lahan-lahan tidak produktif meskipun berada di lingkungan hutan ingin dimanfaatkan sebaik mungkin. Tapi tidak semua hutan. Penambangan boleh saja, tidak haram, tetapi harus ada upaya pembebasan. Tujuan perubahan alih fungsi hutan kan ini untuk pembangunan ya berarti untuk manusia juga,” ungkap Andi.
Terkait penambangan emas, Andi mengatakan saat ini tengah dihentikan dulu lantaran masih dalam kerangka moratorium. Moratorium ini untuk mengkonsolidasikan seberapa penting penambangan emas untuk daerah, apakah sudah memenuhi syarat eksplorasi agar tak terjadi kerusakan lingkungan yang lebih parah dan mengatur regulasi. “Moratorium ini untuk mengatur kembali apa yang perlu dan tidak perlu dilakukan. Ya kalau masih ada yang melakukan aktivitas sementara masih dalam proses moratorium yang baru berakhir Desember 2012, tentu akan berhadapan dengan hukum,” tukasnya.
Kondisi yang sama terjadi pula pada Provinsi Gorontalo. Lebih parah lagi lantaran kandungan emas berada di kawasan hutan lindung dan Taman Nasional Bogani Nani Wartabone (TNBNW). Taman seluas 500 ribu hektare tersebut semakin memprihatinkan sebab sekitar 78.158 luasannya telah berubah fungsi akibat aturan yang memperkenankan alih fungsi hutan (dari hutan menjadi nonhutan atau hutan konservasi menjadi hutan produksi dan sebaliknya) entah menjadi kawasan pertambangan, pemukiman atau perkebunan.
Ironisnya taman nasional yang menjadi penyangga ekosistem di Gorontalo tersebut malah didukung kerusakannya oleh pemimpin tertinggi pemda sendiri. Berkat rekomendasi pemprov Gorontalo tahun 2009—kala itu gubernur masih Fadel Muhammad-- dikeluarkanlah surat keputusan (SK) Menteri Kehutanan bernomor 324 tahun 2010 mengenai alih fungsi TNBNW. SK ini memberi konsesi penambangan bagi PT Gorontalo Mineral milik Bakrie Grup. Kendati dinilai menyalahi prosedur, karena dilakukan sebelum Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) selesai dibahas, namun perusahaan yang memiliki konsesi 36 ribu hektare ini tetap beroperasi.
Kehadiran Gorontalo Minerals kontan membuat aktivis lingkungan di Gorontalo meradang. Sebagai penyangga ekosistem Gorontalo, TNBNW tak hanya melindungi Banjir dan longsor, tetapi juga menjaga habitat hewan dan tumbuhan endemik khas Gorontalo. Ini ancaman bagi burung maleo, monyet Dumoga-Bone, dan kelelawar Bone lantaran Taman Nasional Naniwartabone merupakan habitat satwa endemik tersebut. Kabar disetujui beroperasinya anak perusahaan Bumi Resources Tbk ini jelas mengundang polemik, terutama antara pemegang kebijakan yang ingin meraup pajak (PAD) sebanyak-banyaknya dan para aktivis lingkungan yang tak ingin petaka yang sama terjadi pula pada mereka seperti di Wasior, Papua. Akibat illegal logging dan perambahan hutan secara amburadul mengakibatkan banjir bandang menghancurkan satu kabupaten.
“Ini seolah-olah memaksakan Gorontalo Minerals masuk. Bahkan sempat Fadel mewacanakan dilakukan tukar guling TNBNW. Ada skenario politik bermain di sini. Kita tahu mereka kan milik Grup Bakrie, keterikatan Fadel dan Bakrie jelas,” ucap Rahman Dako Aktivis Lingkungan dari Jaring Advokasi dan Pengelolaan Sumber Daya Alam (Japesda) Gorontalo. Meski kekuatan Grup Bakrie sangat besar di lingkungan Kementerian Dalam Negeri, Rahman mengatakan akan menangkal dengan menggalang dukungan yang lebih besar di tingkat nasional. “Ini memang perlu perjuangan besar, hutan di Gorontalo sudah terdegradasi sangat parah. Untuk itu memang perlu moratorium saat ini, hanya saja Perusahaan Bakrie memaksa. Menurut saya ini lucu saja,” ucapnya.
Sementara Gorontalo Minerals masih terus dilanda polemik, tak dinyana sejumlah perusahaan yang sudah lebih dahulu memiliki kontrak karya masih terus beroperasi di taman nasional tersebut. Sebut saja PT Maju Jaya Mining, Karya Piranti Interbuana, PT Eksplorasi Indonusa Jaya dan Utah Pacific, kontrak karya perusahaan ini sudah habis tapi regulasi yang berlaku masih mengakomodasi bila ingin kembali memperpanjang kontrak. Belum lagi menyebut ribuan penambang ilegal, illegal logging dan perambah hutan lainnya. Kini kerusakan hutan TNBNW sudah mencapai kitaran 500 ribu hekatare. “Yang kontraknya masih berlaku meski tengah dalam proses moratorium masih tetap dapat melakukan eksplorasi. Tapi menunggu proses moratorium selesai baru bisa beroperasi lagi. Tapi jika ingin beroperasi mereka harus kembali mengurus perizinan,” tukas Rugayya Biki, Kepala Bagian Lingkungan Hidup BLH Gorontalo.
Penambang ilegal kerap menjadi kambing hitam. Bukan hanya di Gorontalo tetapi di banyak provinsi lainnya. Bahkan pemprov Gorontalo berdalih dengan hadirnya perusahaan besar yang mengelola tambang di kawasan hutan akan lebih aman. Penambang liar dianggap menjadi penyebab utama rusaknya hutan Gorontalo, padahal sebagian besar penambang melakukan aksinya di bekas lahan konsesi penambang legal. “Penambang liar malah memperparah taman nasional Naniwartabone,” ucap Kepala Bagian Lingkungan BLH Gorontalo Rugayya Biki ketika diwawancarai beberapa waktu lalu.
Kondisi kawasan hutan lindung di sejumlah daerah di Sulawesi dapat dikatakan memprihatikan. Tak hanya Sultra dan Gorontalo, juga Sulawesi Utara. Parahnya, hutan lindung di Sulut kini tinggal 810 ribu hektar atau sekitar 53 persen. Catatan ini perlu digarisbawahi sebab mengancam kestabilan konservasi lingkunan alam. Hutan di Sulut sebagian besar sudah dalam kondisi kritis akibat pertambangan emas, program transmigrasi, pembalakan liar dan kegiatan industri yang merugikan. Hal ini diperparah lagi oleh dua perusahaan hak pengelolaan hutan yang masih terus beroperasi hingga kini yakni PT Lembah Pertama dan Yuma yang memiliki izin operasi yang cukup lama. Begitupun PT Avocet dan PT East Asia di Sangihe
Yang lebih memiriskan lagi, Rencana Tata Ruang Wilayah 2010 – 2030 memberi tempat bagi perusahaan PT Meares Soputan Mining (MSM) untuk mengeksplorasi emas di kawasan hutan konservasi desa Toka Tidung, Kabupaten Minahasa Utara. Sementara kawasan konsesi MSM tersebut masuk dalam wilayah konservasi. Penyebabnya karena pemda Sulut memberikan toleransi pengurangan hutan sekitar 27, 804 ha untuk penggunaan pertambangan, pembangunan infrastruktur jalan dan pemukiman. Sementara alih fungsi hutan menjadi areal perkebunan ditolak sebab hanya dikuasai kelompok tertentu atau pribadi. Akhirnya, luasan kawasan hutan di Sulut yang digunakan menjadi areal peruntukan lain (APL) yang tadinya seluas 793.696 ha, kini telah menjadi 765.892 ha. Terjadi luasan APL sekitar 1,23 persen setelah RTRW Sulut disetujui Badan Koordinasi Tata Ruang Nasional (BKTRN).
Kepala BLH Sulawesi Utara, Olvie menjelaskan bahwa saat ini pemerintah daerah tak lagi memproses izin perusahaan pertambangan. Kendati deposit emas sangat besar, sejumlah bupati mulai membatasi perizinan. “Mereka tak mau lagi memberi rekomendasi,” tutur Olvie. Namun, ia mengecualikan yang sudah ada. Menurutnya, perusahaan yang sudah memiliki kontrak karya, masih bisa beroperasi hingga masa kontrak habis.
Ditambahkan Olvie, kehadiran perusahaan investor memiliki dampak positif dan negatif. Namun ia tak berani memaparkan apa saja dampaknya. “Itu memerlukan kajian, kami sendiri belum melakukan kajiannya,” ucapnya. Kendati begitu ia berujar bahwa setiap eksplorasi pasti ada pengaruhnya. Pihak BLH sendiri lebih banyak melakukan mediasi dan sosialisasi. Kewenangan lainnya adalah memberikan persetujuan terhadap kelayakan AMDAL. “Kalau memenuhi syarat, tak ada alasan kami menolak,” tandasnya.
Sulawesi Selatan sendiri juga mengalami kerusakan hutan yang parah. Dua perusahaan yang cukup berpengaruh di Sulawesi Selatan melakukan aktivitas penambangan di hutan dan bukit karst. Perusahaan tersebut adalah Inco Tbk dan PT Semen Tonasa. Inco yang telah memulai kegiatan eksplorasi intensif sejak tahun 1968 berada sangat dekat dengan Danau Matano yang merupakan danau terdalam ke enam di dunia dan sumber mata air bagi masyarakat Sorowako-Malili. Dua dekade keberadaan Inco mengubah wajah kota kecil Sorowako dari desa kecil dan sepi bertansformasi menjadi kota modern. Keberadaan perusahaan Canada-Jepang ini bagai magnet bagi banyak orang. Orang-orang dari berbagai daerah berbondong-bondong datang kemudian membuka lahan untuk pemukiman, berladang, dan konversi lahan lainnya.
Sementara PT Tonasa yang memiliki lahan konsesi di perbukitan karst Maros-Pangkep mengeksploitasi sumberdaya karst secara besar-besaran berupa batuan kapur (limestone) dan bahan galian tambang lainnya. Padahal, pertambangan kapur sebagai bahan baku industri semen dapat menyebabkan rusaknya sungai-sungai bawah tanah yang mengalir di sekitar kawasan tersebut. Pertambangan kapur di kawasan karst Maros-pangkep juga berpotensi mengancam hilangnya tutupan hutan yang menjadi habitat satwa-satwa endemik.
Bentang alam Kabupaten Maros-Pangkep sebagian besar diantaranya merupakan kawasan karst yang bertipikal tower karst, karst yang berbentuk menara. Sebagian besar kawasan ini merupakan bagian dari kawasan konservasi Taman Nasional Bantimurung-Bulusaraung. Kawasan karst ini menjadi salah satu habitat Kupu-kupu Raja, satwa endemik, yang menjadi ikon taman nasional. Tidak hanya Kupu-Kupu Raja, tetapi juga Rangkong Sulawesi, burung endemik yang hanya dapat dijumpai di Sulawesi. Pada akhirnya fenomena biodiversity lost akan terjadi jika pertambangan batu kapur di kawasan karst tidak mengindahkan nilai ekologi dan konservasi. (NS)
Komentar
Posting Komentar